Teman Blog Terbaik

Selasa, 17 Desember 2013

TETAP BERWARNA





            Nyanyian burung ceumpala kuneng memecahkan kesunyian desa kami. Desa kecil yang jauh dari bisingan kota. Tidak ada satupun kendaraan yang terdengar nganguannya di pagi hari. Hanya suara burung dan suara ombak yang berlarian di tepi pantai yang tak jauh dari rumahku. Hembusan angin laut menembus celah-celah kamar tidurku yang berdinding kayu lapuk. Buwaian angin bak magnet yang selalu menarik hidupku untuk tetap terlarut dalam keindahan mimpi. Di kamar ini  kuwarnai mimpi tidur dengan saudara kandungkungku sendiri, namanya Azrakil Akram. dia kupanggil aduen karena umurnya lebih tua satu tahun dariku.
            Pagi ini tidak seperti pagi biasanya bagi kami berdua. Yang mana pagi-pagi biasanya harus ibu bangunin hingga beberapa kali. Tidak hari ini, hari ini kami bangun sendiri, begitupun seminggu yang lalu. Tepatnya, setiap pagi minggu tidak ada yang harus bangunin kami. Kenapa tidak? karena hari ini, hri libur, hari yang terlepas dari  pelajaran sekolah. Meskipun libur bukan berarti tidak ada kegiatan bagi kami. Banyak permainan yang telah kami jadwalkan bersama teman-teman untuk hari ini.
***
            Di atas meja kayu yang tidak diwarnai cat telah tersedia teh yang ditemani timphan, keduanya masih menampug uap hangat. Hidangan rutinitas yang selalu disediakan ibu untuk sarapan kami sekeluarga.
            “lihat! Kalau hari minggu, tidak  ada yang harus dibangunin” kata ibu dengan suara yang teduh sambil melihat dua buah hatinya yang baru bangun dari hanyutan mimpi. Kami hanya tersenyum malu mendangar ucapan ibu, kerana memang begitu kelakuan kami setiap hari yang selalu harus dibangunin kecuali hari minggu.
            “hari ini kalian mau kenama?” tanya ibu yang sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan dapur.
            “kami mau main bola bu, di lapangan dekat sekolah” jawab abangku sambil melepaskan daun pisang yang membungkus timphan. Pagi ini ibu membuat timphan asoe kaya, timphan yang paling enak rasanya.
            “ayah mana bu?” tanyaku dengan nada serak yang tidak diragukan lagi kalau  baru bangun dari tidur.
            “habis subuh tadi, ayahmu langsung kekebun. Kan hari ini ayah mau menjenguk nenek yang lagi sakit di Tiro.” jawab ibu dengan penuh semangat yang diakhiri dengan rawut muka yang sedih  mangingat nenek sedang sakit.
            “ayah kerumah nenek dengan aku kan bu?” sambungku dengan suara yang sedikit keras untuk memecahkan keheningan yang tadinya terdiam sesaat.
            “ya, makanya habis main bola langsung pulang kerumah!” desak ibu yang tak mungkin kuabaikan pintaannya.
            “kami pergi dulu ya bu,” pamit abangku sambil bangun dari kursinya.
            “Jaga adikmu baik-baik ya Rakil, meskipun kalian satu kelas, faril tetap adikmu yang masih kecil yang harus kamu jaga,” pinta ibu kepada anak sulungnya dengan penuh harap.
            “pasti bu, kalau si Faril bendel pasti dia akan kupukul.” jawab abangku sambil ketawa kecil.
            Aku dan abangku duduk di bangku kelas 3 Madrasah Ibtidaiyah (MI). Sekolah Dasar yang berasas keagamaan. Benar kata ibu, meskipun kami satu kelas, aku jelas lebih kecil dari abangku, dari usiaku dan juga postur tubuh pasti aku kelihatan lebih kecil kalau dibandingkan dengan abangku. Ketika abang masuk kelas satu dulu, aku ingin juga sekolah bersamanya, karena aku tidak betah tinggal dirumah sendirian. Meskipun ada sedikit permasalahan karena umurku belum cukup untuk masuk Sekolah Dasar, akhirnya keinginanku terpenuhi juga setelah beberapa kali ayah ke kantor kepala sekolah untuk mengurusnya.
***
Dua anak kecil berkulit kuning langsat keluar dari rumah berdinding kayu beratap daun rumbia. Sambil bercanda tawa dua anak kecil yang mengenakan celana pendek memulai langkah mereka. Deretan pohon kelapa dan nyinyurnya yang melambai-lambai menyapa pagi mereka. Pepohonan kecil yang tertata rapi dipinggir pagar bambu juga ikut menyambut langkah mereka.
            Sekitar 15 menit kami tiba di lapangan bola. Lapangan kecil yang tidak terlihat satupun rumput diatasnya. Seisi lapangan dipenuhi pasir kering nan tandus. Gawang yang kami dirikan dengan bambu kering kecoklatan. Begitulah lukisan lapangan bola kami.
Pertandingan bola akan segera kami mulai. Baru beberapa menit bermain, kepalaku terasa pusing. Rasa pusing dalam tiba-tiba yang belum pernah aku alami sebelumnya. Semua teman terdiam, tak seorangpun yang bersuara. Suasana menjadi tegang bak ruwangan pengadilan yang sedang menunggu keputusan hakim untuk terdakwa. Dalam diam kusadari, bahwa ini bukanlah pusing karena kepalaku yang sakit. Melainkan bumi yang bergoyang  tanpa musik.
“gempaaa.....” teriak temanku rajul begitu keres dengan nada ketakutan.
“Laa...Ilaa haillallaah..... Laa...Ilaa haillallaah.....” kami melafadhkannya bersamaan dengan serentak. Semakin lama goncangan gempa semakin kuat dan cepat. Tubuhku yang  kecil gemetar menggigil dalam pelukan abang. Dia berbisik kepadaku “jangan takut faril, sebentar lagi gempanya akan segera berhenti”. Aku tahu, kalau dia menutupi ketakutan dan menahan air matanya supaya tidak menetes  keluar. Sedangkan aku, aku tidak bisa membendung air mata yang keluar begitu deras, bagaikan hujan yang turun  diakhir tahun.
Gempa belum juga berhenti. Semua pepohonan yang tadinya duduk tenang sekarang menari girang. Semua orang keluar dari rumahnya dengan melafadhkan “Laa...Ilahaillallaah..... Allaahu Akbaar....” Semua penduduk di diselimuti rasa takut. Tidak ada seorangpun yang bisa menutupi rasa takut yang begitu berat membelenggu jiwa mereka. aku hanya terdiam tanpa mengucap apa-apa. Yang aku pikirkan hanya ayah dan ibu di rumah. “Apakah aku bisa melihat lagi mereka? Apakah kami akan hidup lagi bersama? Mungkinkah hari ini kiamat akan tiba?” tanyaku dalam hati.
“ayo dek, kita pulang kerumah sekarang!” seru abangku dengan suara lantang disertai linangan air mata yang tidak bisa dia bendungi. Dengan tertatih-tatih kami berlari menuju gebuk istana. Tangan kananku yang ditarik abang mempercepat langkahku. Dan sesekali terjatuh karena gempa belum juga reda. Jarak rumah seakan menjauh hari ini, tak seperti biasanya. Aku tidak sabar lagi untuk langsung tiba dirumah dan memeluk ayah dan ibu.
Dari jarak jauh terlihat dua orang yang berlari menuju arah kami, nampak lelaki setengah baya berkemeja kotak-kotak yang warna aslinya sudah pudar dan di belakangnya terlihat seorang ibu berdaster biru. Mereka tidak asing bagi kami. Iya, mereka adalah orang tua yang sedang mencari dua penyejuk hati. Rasa takut di hatiku mulai memudar ketika melihat ayah dan ibu mencari kami. Aku pun mempercepat lari. Bagaikan seorang anak yang baru pulang dari rantowan, begitulah rasa rinduku kepada dua orang tua saat ini, meskipun baru sesaat jauh dari pandangan mareka.
Bumi sudah bergowang beberapa menit, tapi belum juga berhenti. sekarang gerakannya sudah sedikit melambat.
“kalian baik-baik saja kan nak?” tanya ayah sambil memeluk dua anak kecilnya dengan mata yang berkaca-kaca. tidak satupun kata yang keluar dari mulut kami untuk menjawab pertanyaan ayah. Mulut terasa kaku untuk menjawabnya. Hanya isak tangis yang terdengar dengan tubuh yang terseduh-seduh penuh gemetar. Sebelum ayah melepaskan pelukannya, ibu pun memeluk kami yang tibanya sedikit lambat dibelakang ayah. Rasa haru bahagia tidak bisa kuucapkan dengan kata-kata saat terbuwai dalam pelukan keluarga. Pelukan kasih keluarga yang tadi saat gempa kukira tak lagi ada, tapi sekarang aku dalam pelukan mereka.
 Dengan suara yang terseduh-seduh aku berkata “a...ayaah, i...ibuu  faril sayang kalian, faril tidak ingin jauh lagi dari ayah dan ibu,”
“a...apakah ha..harii ini akan kiamat.” tanya abangku dengan suara yang terbata-bata. Orang tuaku juga tidak menjawabnya, mereka hanya memeluk kami lebih erat.
Kini gempa telah berhenti, bagaikan air yang membeku tak lagi mengalir. Bagaikan penari yang terdiam kehabisan musik. Rasa pusing belum menghilang dari kepalaku karena gempa tadi yang sangat kencang. Tiba-tiba air laut surut menghilang tak tau mengapa. Surut hingga bebera meter tak tau entah kemana. Banyak ikan-ikan yang berlompatan di tepi pantai yang sebelumnya dipenuhi air biru berbuih ombak.
Suasana yang sudah mulai tenang, kini kembali kocar-kacir dengan teriakan histeris semua orang yang berlarian. Kami masih dalam satu pelukan.
“Banjiiiiir...rrr...” suara teriakan begitu keras yang menusuk kedua telingaku. Semua orang lari menyelamatkan diri. Kami sekeluarga masih tenang tanpa bergeser sama sekali. Kulihat ombak kehitaman yang tingginya melebihi pohon kelapa yang ada disamping kami, siap menerjang seisi desa.  Dengan kecepatan kilat kami sekeluarga dibawa hantamannya. Pelukan ayah dan ibu yang begitu erat dilepaskan ombak yang derasnya lebih kuat. Kini diriku hanya bertahan dalam pelukan abang. Dalam gulungan air hitam pikiranku melayang entah kemana. “Apakah hari ini benar-benar dunia akan berhenti? Benarkah Malaikat Isra-il akan meniup sangkal kala hari ini? hanya sebentar inikah hidupku didunia ini?” Beribu pertanyaan muncul dari benakku.
 Kini terbayang semua kisah hidupku, saat bersama keluarga tercinta abang, ibu dan ayah. Senyuman abang, ibu dan ayah terlukis semuanya. Kehidupan kami penuh canda dan tawa, kehidupan yang sederhana tapi sangat bahagia. Saat bersama teman sekolah yang selalu membuatku tertawa, semuanya terbayang dengan sendirinya. Penglihatanku kini mulai gelap hingga hitam kelam.

***

Setalah tiga hari tidak sadar diri, hari ini kubuka mata kembali. Kulihat ruangan yang kutempati berdinding tembok warna putih, sangat jauh perbedaan dengan dinding rumahku. Kulihat botol plastik tergantung yang menetesi air melalui selang putih menuju urat nadi kiriku. Di samping kanan kulihat tabung gas warna biru. Dan di sampingku ada seorang bapak yang kelihatannya masih muda. Orang itu  berkemeja hitam dan kepalanya merunduk kekasur yang kutempati. Ingin ku bersuara tapi terasa berat untuk mengeluarkannya. Rasa haus juga sangat terasa. Kemuadian orang itu bangun dan melihatku sudah membuka mata. Dia langsung memelukku dengan air mata. Tapi aku belum tau siapa dia.
“Asfaril ini aku pamanmu, paman fadli, adik ibumu yang tinggal di Malaysia.” Tentu saja aku tidak mengenalnya, kata ibu paman ke Malaysia waktu umurku satu tahun dan tidak penah pulang ke Aceh.
Mulutku berusaha mengeluarkan kata untuk bertanya “ a..ayah i..ibu dan a..abang dimana...?” paman fadli Cuma diam dengan linangan air mata. Aku pun kembali menangis, karena kutau jawaban itu tidak mungkin untuk dijawab.
Minggu depan aku sudah diizinkan untuk pulang. Tapi aku tidak tau, kalau aku akan pulang kemana, yang aku ingat semua desaku dibawa banjir. Paman membawaku kerumah nenek yang di Tiro. Desa di bawah kaki gunung yang jalannya harus mendaki bukit yang dinamakan glee siblah. Cuaca disana sangat sejuk dan tentram. desa yang melahirkan pahlawan kita yaitu Teukeu Syiek Ditiro.
Kini hidupku tidak lagi berwarna, seakan jiwaku mati tidak berdaya. Hanya bayang-bayangan itu yang melintas di mata. Sebulan sudah kutinggal di rumah nenek. kemudian paman membawaku bersamanya untuk tinggal di Malaysia. Pamanku sekarang sudah menjadi warga malaysia. beliau sudah menikah disana, tapi sayang, sudah beberapa tahun bekeluarga  belum juga dikaruniai anak. Kini aku akan hidup menjadi anaknya di negri tetangga.
***
Hari terus berganti hari, kerana bumi masih berputar belum berhenti.  Sekarang aku duduk di kelas satu sekolah menengah. Aku belajar di sekolah ternama di Malaysia, Sekolah Menengah Kebangsaan (SMK) Valdor. Aku bisa sekolah di SMK Valdor  kerena paman kusendiri yang sekarang kupanggil ayah. Beliau adalah guru kesenian di sekolah ini. Ribuan pelajar yang belajar disini, terutama mereka yang berpendapatan tinggi. Tidak semua orang bisa sekolah di SMK Valdor, apalagi bukan penduduk asli Malaysia.
            Di Valdor sangat berbeda dengan sekolah tempat belajarku sebelum ke sini. Dulu aku belajar di sekolah yang disediakan khusus untuk anak TKI. Semua pelajarnya anak-anak dari indonesia, mereka anak-anak yang orang tuanya bekerja di sini.
Di Valdor hanya 11 pelajar yang berasal dari Indonesia, yang satu cewek yang lain cowok semua. Karena jumlah kami yang sedikit, banyak ejekan yang delemparkan bagi kami. Tapi tidak semua mereka tidak suka kepada kami, hanya beberapa orang saja. Mungkin mereka tidak suka anak indonesia belajar dinegerinya. Apalagi saya yang dari Aceh, mereka selalu mengejekku dengan kata Tsunami, bencana yang menelan seisi desaku kini menjadi bahan ejekan mereka untukku. Yang paling sering menumpahkan kata-kata ejakan namanya Amzah Hasan dan dua temannya Adrian dan Husnan. Baik di kelas maupun kanti hobi mereka Cuma menjelekan orang. Bukan Cuma aku, yang lain juga menjadi bahan ejekan mereka.
            “katanya Aceh serambi Mekkah tapi kenapa di serambi mekah terjadi Tsunami yang mengerikan,? serambi ma’siat kali” kata-kata yang berulang kali mereka ucapkan di hadapanku. Tidak ada hari yang sunyi dari ejekan. Aku hanya diam tidak menghiraukan, karena akau tau kalau aku menumpang untuk belajar di negeri mereka. Meskipu hanya diam tapi hati sakit teriris tidak bisa kutahan. Ingin rasanya membalas kata-kata mereka.
            “tak usah dengar ucapan mereka, biarkan saja mereka berkata” ujar temanku hussien dengan gaya bahasa yang lucu. Aku sering tertawa mendengarnya berbicara karena dia untuk berbicara seperti gaya bahasa orang indonesia, yang jadi Cuma lucu bila kita mendengarnya. Katika aku lagi sedih Husseinlah yang mengajak aku untuk tertawa. Dia adalah teman tempat aku bercerita. Kalau tidak ada dia mungkin aku tidak betah tinggal di Valdor. Kami sering berbagi cerita, dia sangat terharu dan ketika mendengar cerita Tsunami.
            Hariterus berputar menjadi malam. malam ini  tidurku diwarnai mimpi yang begitu indah, mimpi bertemu ibu. Kulihat ibu berdiri memakai baju warnar putih, aku mendekat dan memeluknya dengan erat.
 “ibu jangan tinggali aku lagi” pintaku pada ibu. Ibu tersenyum sambil menghapus air mata yang ada di pipiku. Beliau berpesan supaya aku selalu giat dalam belajar dan ibu juga menjawab pertanyaan yang belakangan ini membuatku gundah. Aku hanya terdiam dalam pelukan sambil mendengar kata-katanya hingga air mata membangunkanku dari mimpi. setelah shalat tahajut kutulis sebuah puisi, puisi dari kata-kata ibu yang yang tadi bertemu di dalam mimpi. dan besok pusisi ini akan kutempel di mading sekolah.

Mengapa ...?
Mengapa negeriku diterjang musibah?
Kenapa bukan negerinya yang ma’siat lebih parah?
Mengapa negeriku ditimpa musibah?
Bukankah negriku serambi Mekkah?
Tapi mengapa ...?
Apakah negeriku tak layak untuk dicinta
Seperti kata mereka?
Hingga Tsunami jadi cerita
Kenapa dan mengapa...?
 pertanyaan bodoh yang pernah menyesak jiwaku
Kini hal bodoh itu lenyaplah sudah
Setalah fakta menjawabnya dengan nyata
Tak mungkin akan kucuci kandang yang kotor
Karena kandang memang layak untuk kotor
Tapi...
Ku kan segera membersih mesjid
Meski hanya setitik najis
yang bersih ku kan membersih
 jika ada sedikit kotor
yang kotor ku biarkan kotor
meskipun ia bertambah kotor
kerena memang tempat untuk berkotor
kau tetap berwarna
meski bencana telah menimpa
kau tetap berwarna
meski musibah datang menerpa
Kini kuragu dan jadi bertanya
mengapa di  negrinya tak pernah ada?
Yang tertawa bukan berati senang
yang menangis bukan berarti sedih

By : Asfaril Akram

            Keesokan harinya suasana kelas menjadi tenang, semua teman kelihatan dingin tanpa candaan. Karena puisiku yang di mading itu ada teman yang senang dan ada juga yang hanya diam. Amzah Hasan dan temannya tidak girang seperti biasanya. Mereka merasa bersalah dan meminta ma’af karena pernah mengejekku. Dan kini mereka menjadi teman baikku di SMK Valdor.


Ezi Azwar, 11 November­,Tareem_Yemen

           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar