Nyanyian
burung ceumpala kuneng memecahkan kesunyian desa kami. Desa kecil yang
jauh dari bisingan kota. Tidak ada satupun kendaraan yang terdengar nganguannya
di pagi hari. Hanya suara burung dan suara ombak yang berlarian di tepi pantai
yang tak jauh dari rumahku. Hembusan angin laut menembus celah-celah kamar
tidurku yang berdinding kayu lapuk. Buwaian angin bak magnet yang selalu
menarik hidupku untuk tetap terlarut dalam keindahan mimpi. Di kamar ini kuwarnai mimpi tidur dengan saudara
kandungkungku sendiri, namanya Azrakil Akram. dia kupanggil
aduen karena umurnya lebih tua satu tahun dariku.
Pagi ini tidak seperti pagi biasanya
bagi kami berdua. Yang mana pagi-pagi biasanya harus ibu bangunin hingga
beberapa kali. Tidak hari ini, hari ini kami bangun sendiri, begitupun seminggu
yang lalu. Tepatnya, setiap pagi minggu tidak ada yang harus bangunin kami.
Kenapa tidak? karena hari ini, hri libur, hari yang terlepas dari pelajaran sekolah. Meskipun libur bukan
berarti tidak ada kegiatan bagi kami. Banyak permainan yang telah kami
jadwalkan bersama teman-teman untuk hari ini.
***
Di atas meja kayu yang tidak
diwarnai cat telah tersedia teh yang ditemani timphan, keduanya masih menampug
uap hangat. Hidangan rutinitas yang selalu disediakan ibu untuk sarapan kami
sekeluarga.
“lihat! Kalau hari minggu, tidak ada yang harus dibangunin” kata ibu dengan
suara yang teduh sambil melihat dua buah hatinya yang baru bangun dari hanyutan
mimpi. Kami hanya tersenyum malu mendangar ucapan ibu, kerana memang begitu
kelakuan kami setiap hari yang selalu harus dibangunin kecuali hari minggu.
“hari ini kalian mau kenama?” tanya
ibu yang sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan dapur.
“kami mau main bola bu, di lapangan
dekat sekolah” jawab abangku sambil melepaskan daun pisang yang membungkus timphan.
Pagi ini ibu membuat timphan asoe kaya, timphan yang paling enak
rasanya.
“ayah mana bu?” tanyaku dengan nada
serak yang tidak diragukan lagi kalau baru bangun dari tidur.
“habis subuh tadi, ayahmu langsung
kekebun. Kan hari ini ayah mau menjenguk nenek yang lagi sakit di Tiro.” jawab
ibu dengan penuh semangat yang diakhiri dengan rawut muka yang sedih mangingat nenek sedang sakit.
“ayah kerumah nenek dengan aku kan
bu?” sambungku dengan suara yang sedikit keras untuk memecahkan keheningan yang
tadinya terdiam sesaat.
“ya, makanya habis main bola
langsung pulang kerumah!” desak ibu yang tak mungkin kuabaikan pintaannya.
“kami pergi dulu ya bu,” pamit
abangku sambil bangun dari kursinya.
“Jaga adikmu baik-baik ya Rakil,
meskipun kalian satu kelas, faril tetap adikmu yang masih kecil yang harus kamu
jaga,” pinta ibu kepada anak sulungnya dengan penuh harap.
“pasti bu, kalau si Faril bendel
pasti dia akan kupukul.” jawab abangku sambil ketawa kecil.
Aku dan abangku duduk di bangku
kelas 3 Madrasah Ibtidaiyah (MI). Sekolah Dasar yang berasas keagamaan. Benar
kata ibu, meskipun kami satu kelas, aku jelas lebih kecil dari abangku, dari
usiaku dan juga postur tubuh pasti aku kelihatan lebih kecil kalau dibandingkan
dengan abangku. Ketika abang masuk kelas satu dulu, aku ingin juga sekolah
bersamanya, karena aku tidak betah tinggal dirumah sendirian. Meskipun ada
sedikit permasalahan karena umurku belum cukup untuk masuk Sekolah Dasar,
akhirnya keinginanku terpenuhi juga setelah beberapa kali ayah ke kantor kepala
sekolah untuk mengurusnya.
***
Dua anak kecil berkulit kuning langsat keluar dari rumah berdinding
kayu beratap daun rumbia. Sambil bercanda tawa dua anak kecil yang mengenakan
celana pendek memulai langkah mereka. Deretan pohon kelapa dan nyinyurnya yang
melambai-lambai menyapa pagi mereka. Pepohonan kecil yang tertata rapi
dipinggir pagar bambu juga ikut menyambut langkah mereka.
Sekitar 15 menit kami tiba di
lapangan bola. Lapangan kecil yang tidak terlihat satupun rumput diatasnya.
Seisi lapangan dipenuhi pasir kering nan tandus. Gawang yang kami dirikan
dengan bambu kering kecoklatan. Begitulah lukisan lapangan bola kami.
Pertandingan bola akan segera kami mulai. Baru beberapa menit
bermain, kepalaku terasa pusing. Rasa pusing dalam tiba-tiba yang belum pernah
aku alami sebelumnya. Semua teman terdiam, tak seorangpun yang bersuara.
Suasana menjadi tegang bak ruwangan pengadilan yang sedang menunggu keputusan
hakim untuk terdakwa. Dalam diam kusadari, bahwa ini bukanlah pusing karena
kepalaku yang sakit. Melainkan bumi yang bergoyang tanpa musik.
“gempaaa.....” teriak temanku rajul begitu keres dengan nada
ketakutan.
“Laa...Ilaa haillallaah..... Laa...Ilaa haillallaah.....” kami melafadhkannya bersamaan dengan serentak. Semakin lama
goncangan gempa semakin kuat dan cepat. Tubuhku yang kecil gemetar menggigil dalam pelukan abang.
Dia berbisik kepadaku “jangan takut faril, sebentar lagi gempanya akan segera
berhenti”. Aku tahu, kalau dia menutupi ketakutan dan menahan air matanya
supaya tidak menetes keluar. Sedangkan
aku, aku tidak bisa membendung air mata yang keluar begitu deras, bagaikan
hujan yang turun diakhir tahun.
Gempa belum juga berhenti. Semua pepohonan yang tadinya duduk
tenang sekarang menari girang. Semua orang keluar dari rumahnya dengan
melafadhkan “Laa...Ilahaillallaah..... Allaahu Akbaar....” Semua
penduduk di diselimuti rasa takut. Tidak ada seorangpun yang bisa menutupi rasa
takut yang begitu berat membelenggu jiwa mereka. aku hanya terdiam tanpa
mengucap apa-apa. Yang aku pikirkan hanya ayah dan ibu di rumah. “Apakah aku
bisa melihat lagi mereka? Apakah kami akan hidup lagi bersama? Mungkinkah hari
ini kiamat akan tiba?” tanyaku dalam hati.
“ayo dek, kita pulang kerumah sekarang!” seru abangku dengan suara
lantang disertai linangan air mata yang tidak bisa dia bendungi. Dengan
tertatih-tatih kami berlari menuju gebuk istana. Tangan kananku yang ditarik
abang mempercepat langkahku. Dan sesekali terjatuh karena gempa belum juga
reda. Jarak rumah seakan menjauh hari ini, tak seperti biasanya. Aku tidak
sabar lagi untuk langsung tiba dirumah dan memeluk ayah dan ibu.
Dari jarak jauh terlihat dua orang yang berlari menuju arah kami,
nampak lelaki setengah baya berkemeja kotak-kotak yang warna aslinya sudah
pudar dan di belakangnya terlihat seorang ibu berdaster biru. Mereka tidak
asing bagi kami. Iya, mereka adalah orang tua yang sedang mencari dua penyejuk
hati. Rasa takut di hatiku mulai memudar ketika melihat ayah dan ibu mencari
kami. Aku pun mempercepat lari. Bagaikan seorang anak yang baru pulang dari
rantowan, begitulah rasa rinduku kepada dua orang tua saat ini, meskipun baru
sesaat jauh dari pandangan mareka.
Bumi sudah bergowang beberapa menit, tapi belum juga berhenti.
sekarang gerakannya sudah sedikit melambat.
“kalian baik-baik saja kan nak?” tanya ayah sambil memeluk dua anak
kecilnya dengan mata yang berkaca-kaca. tidak satupun kata yang keluar dari
mulut kami untuk menjawab pertanyaan ayah. Mulut terasa kaku untuk menjawabnya.
Hanya isak tangis yang terdengar dengan tubuh yang terseduh-seduh penuh
gemetar. Sebelum ayah melepaskan pelukannya, ibu pun memeluk kami yang tibanya
sedikit lambat dibelakang ayah. Rasa haru bahagia tidak bisa kuucapkan dengan
kata-kata saat terbuwai dalam pelukan keluarga. Pelukan kasih keluarga yang
tadi saat gempa kukira tak lagi ada, tapi sekarang aku dalam pelukan mereka.
Dengan suara yang terseduh-seduh
aku berkata “a...ayaah, i...ibuu faril
sayang kalian, faril tidak ingin jauh lagi dari ayah dan ibu,”
“a...apakah ha..harii ini akan kiamat.” tanya abangku dengan suara
yang terbata-bata. Orang tuaku juga tidak menjawabnya, mereka hanya memeluk
kami lebih erat.
Kini gempa telah berhenti, bagaikan air yang membeku tak lagi
mengalir. Bagaikan penari yang terdiam kehabisan musik. Rasa pusing belum
menghilang dari kepalaku karena gempa tadi yang sangat kencang. Tiba-tiba air
laut surut menghilang tak tau mengapa. Surut hingga bebera meter tak tau entah
kemana. Banyak ikan-ikan yang berlompatan di tepi pantai yang sebelumnya dipenuhi
air biru berbuih ombak.
Suasana yang sudah mulai tenang, kini kembali kocar-kacir dengan
teriakan histeris semua orang yang berlarian. Kami masih dalam satu pelukan.
“Banjiiiiir...rrr...” suara teriakan begitu keras yang menusuk
kedua telingaku. Semua orang lari menyelamatkan diri. Kami sekeluarga masih
tenang tanpa bergeser sama sekali. Kulihat ombak kehitaman yang tingginya
melebihi pohon kelapa yang ada disamping kami, siap menerjang seisi desa. Dengan kecepatan kilat kami sekeluarga dibawa
hantamannya. Pelukan ayah dan ibu yang begitu erat dilepaskan ombak yang
derasnya lebih kuat. Kini diriku hanya bertahan dalam pelukan abang. Dalam
gulungan air hitam pikiranku melayang entah kemana. “Apakah hari ini
benar-benar dunia akan berhenti? Benarkah Malaikat Isra-il akan meniup sangkal
kala hari ini? hanya sebentar inikah hidupku didunia ini?” Beribu
pertanyaan muncul dari benakku.
Kini terbayang semua kisah
hidupku, saat bersama keluarga tercinta abang, ibu dan ayah. Senyuman abang,
ibu dan ayah terlukis semuanya. Kehidupan kami penuh canda dan tawa, kehidupan
yang sederhana tapi sangat bahagia. Saat bersama teman sekolah yang selalu
membuatku tertawa, semuanya terbayang dengan sendirinya. Penglihatanku kini
mulai gelap hingga hitam kelam.
***
Setalah
tiga hari tidak sadar diri, hari ini kubuka mata kembali. Kulihat ruangan yang
kutempati berdinding tembok warna putih, sangat jauh perbedaan dengan dinding
rumahku. Kulihat botol plastik tergantung yang menetesi air melalui selang
putih menuju urat nadi kiriku. Di samping kanan kulihat tabung gas warna biru.
Dan di sampingku ada seorang bapak yang kelihatannya masih muda. Orang itu berkemeja hitam dan kepalanya merunduk kekasur
yang kutempati. Ingin ku bersuara tapi terasa berat untuk mengeluarkannya. Rasa
haus juga sangat terasa. Kemuadian orang itu bangun dan melihatku sudah membuka
mata. Dia langsung memelukku dengan air mata. Tapi aku belum tau siapa dia.
“Asfaril
ini aku pamanmu, paman fadli, adik ibumu yang tinggal di Malaysia.” Tentu saja
aku tidak mengenalnya, kata ibu paman ke Malaysia waktu umurku satu tahun dan
tidak penah pulang ke Aceh.
Mulutku
berusaha mengeluarkan kata untuk bertanya “ a..ayah i..ibu dan a..abang dimana...?”
paman fadli Cuma diam dengan linangan air mata. Aku pun kembali menangis,
karena kutau jawaban itu tidak mungkin untuk dijawab.
Minggu
depan aku sudah diizinkan untuk pulang. Tapi aku tidak tau, kalau aku akan
pulang kemana, yang aku ingat semua desaku dibawa banjir. Paman membawaku
kerumah nenek yang di Tiro. Desa di bawah kaki gunung yang jalannya harus
mendaki bukit yang dinamakan glee siblah. Cuaca disana sangat sejuk dan
tentram. desa yang melahirkan pahlawan kita yaitu Teukeu Syiek Ditiro.
Kini
hidupku tidak lagi berwarna, seakan jiwaku mati tidak berdaya. Hanya bayang-bayangan
itu yang melintas di mata. Sebulan sudah kutinggal di rumah nenek. kemudian
paman membawaku bersamanya untuk tinggal di Malaysia. Pamanku sekarang sudah
menjadi warga malaysia. beliau sudah menikah disana, tapi sayang, sudah beberapa
tahun bekeluarga belum juga dikaruniai
anak. Kini aku akan hidup menjadi anaknya di negri tetangga.
***
Hari
terus berganti hari, kerana bumi masih berputar belum berhenti. Sekarang aku duduk di kelas satu sekolah
menengah. Aku belajar di sekolah ternama di Malaysia, Sekolah Menengah
Kebangsaan (SMK) Valdor. Aku bisa sekolah di SMK Valdor kerena paman kusendiri yang sekarang kupanggil
ayah. Beliau adalah guru kesenian di sekolah ini. Ribuan pelajar yang belajar
disini, terutama mereka yang berpendapatan tinggi. Tidak semua orang bisa
sekolah di SMK Valdor, apalagi bukan penduduk asli Malaysia.
Di Valdor sangat berbeda dengan
sekolah tempat belajarku sebelum ke sini. Dulu aku belajar di sekolah yang
disediakan khusus untuk anak TKI. Semua pelajarnya anak-anak dari indonesia,
mereka anak-anak yang orang tuanya bekerja di sini.
Di
Valdor hanya 11 pelajar yang berasal dari Indonesia, yang satu cewek yang lain
cowok semua. Karena jumlah kami yang sedikit, banyak ejekan yang delemparkan
bagi kami. Tapi tidak semua mereka tidak suka kepada kami, hanya beberapa orang
saja. Mungkin mereka tidak suka anak indonesia belajar dinegerinya. Apalagi
saya yang dari Aceh, mereka selalu mengejekku dengan kata Tsunami,
bencana yang menelan seisi desaku kini menjadi bahan ejekan mereka untukku.
Yang paling sering menumpahkan kata-kata ejakan namanya Amzah Hasan dan dua
temannya Adrian dan Husnan. Baik di kelas maupun kanti hobi mereka Cuma
menjelekan orang. Bukan Cuma aku, yang lain juga menjadi bahan ejekan mereka.
“katanya
Aceh serambi Mekkah tapi kenapa di serambi mekah terjadi Tsunami yang
mengerikan,? serambi ma’siat kali” kata-kata yang berulang kali mereka ucapkan
di hadapanku. Tidak ada hari yang sunyi dari ejekan. Aku hanya diam tidak
menghiraukan, karena akau tau kalau aku menumpang untuk belajar di negeri
mereka. Meskipu hanya diam tapi hati sakit teriris tidak bisa kutahan. Ingin
rasanya membalas kata-kata mereka.
“tak usah dengar ucapan mereka,
biarkan saja mereka berkata” ujar temanku hussien dengan gaya bahasa yang lucu.
Aku sering tertawa mendengarnya berbicara karena dia untuk berbicara seperti
gaya bahasa orang indonesia, yang jadi Cuma lucu bila kita mendengarnya. Katika
aku lagi sedih Husseinlah yang mengajak aku untuk tertawa. Dia adalah teman
tempat aku bercerita. Kalau tidak ada dia mungkin aku tidak betah tinggal di
Valdor. Kami sering berbagi cerita, dia sangat terharu dan ketika mendengar
cerita Tsunami.
Hariterus berputar menjadi malam.
malam ini tidurku diwarnai mimpi yang
begitu indah, mimpi bertemu ibu. Kulihat ibu berdiri memakai baju warnar putih,
aku mendekat dan memeluknya dengan erat.
“ibu jangan tinggali aku lagi” pintaku pada
ibu. Ibu tersenyum sambil menghapus air mata yang ada di pipiku. Beliau berpesan
supaya aku selalu giat dalam belajar dan ibu juga menjawab pertanyaan yang
belakangan ini membuatku gundah. Aku hanya terdiam dalam pelukan sambil
mendengar kata-katanya hingga air mata membangunkanku dari mimpi. setelah
shalat tahajut kutulis sebuah puisi, puisi dari kata-kata ibu yang yang tadi
bertemu di dalam mimpi. dan besok pusisi ini akan kutempel di mading
sekolah.
Mengapa ...?
Mengapa negeriku diterjang musibah?
Kenapa bukan negerinya yang ma’siat lebih parah?
Mengapa negeriku ditimpa musibah?
Bukankah negriku serambi Mekkah?
Mengapa negeriku diterjang musibah?
Kenapa bukan negerinya yang ma’siat lebih parah?
Mengapa negeriku ditimpa musibah?
Bukankah negriku serambi Mekkah?
Tapi mengapa ...?
Apakah negeriku tak layak untuk dicinta
Seperti kata mereka?
Hingga Tsunami jadi cerita
Kenapa dan mengapa...?
pertanyaan bodoh yang pernah menyesak jiwaku
Kini hal bodoh itu lenyaplah sudah
Setalah fakta menjawabnya dengan nyata
Tak mungkin akan kucuci kandang yang kotor
Karena kandang memang layak untuk kotor
Tapi...
Ku kan segera membersih mesjid
Meski hanya setitik najis
yang bersih ku kan membersih
jika ada sedikit kotor
yang kotor ku biarkan kotor
meskipun ia bertambah kotor
kerena memang tempat untuk berkotor
Apakah negeriku tak layak untuk dicinta
Seperti kata mereka?
Hingga Tsunami jadi cerita
Kenapa dan mengapa...?
pertanyaan bodoh yang pernah menyesak jiwaku
Kini hal bodoh itu lenyaplah sudah
Setalah fakta menjawabnya dengan nyata
Tak mungkin akan kucuci kandang yang kotor
Karena kandang memang layak untuk kotor
Tapi...
Ku kan segera membersih mesjid
Meski hanya setitik najis
yang bersih ku kan membersih
jika ada sedikit kotor
yang kotor ku biarkan kotor
meskipun ia bertambah kotor
kerena memang tempat untuk berkotor
kau tetap berwarna
meski bencana telah menimpa
kau tetap berwarna
meski musibah datang menerpa
Kini kuragu dan jadi bertanya
mengapa di negrinya tak pernah ada?
meski bencana telah menimpa
kau tetap berwarna
meski musibah datang menerpa
Kini kuragu dan jadi bertanya
mengapa di negrinya tak pernah ada?
Yang tertawa bukan berati senang
yang menangis bukan berarti sedih
yang menangis bukan berarti sedih
By : Asfaril Akram
Keesokan harinya suasana kelas
menjadi tenang, semua teman kelihatan dingin tanpa candaan. Karena puisiku yang
di mading itu ada teman yang senang dan ada juga yang hanya diam. Amzah
Hasan dan temannya tidak girang seperti biasanya. Mereka merasa bersalah dan
meminta ma’af karena pernah mengejekku. Dan kini mereka menjadi teman baikku di
SMK Valdor.
Ezi Azwar, 11 November,Tareem_Yemen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar