Teman Blog Terbaik

Selasa, 17 Desember 2013

DI BALIK HADIAH ULANG TAHUNKU




Senyum kelabu mentari pagi di hari itu seolah mengobsesikan rasa keterpaksaannya bangkit dari dari persemayamannya, seraya suasana hening menghantui penduduk desa lembah kaki gunung sorik merapi, musibah yang memang tak dianggap jarang kembali menimpa para insan yang mempunyai hati lembut itu, bendera kuning dengan ayunya melambai-lambai di pinggiran jalan menuju gang rumah bu Marni, hanya tetesan air mata serta gerakan lidah seraya berdoa yang bisa dilakukan seorang hamba yang lemah, saat sang yang memiliki ruh itu mengambilnya dari jasad seseorang yang dicinta,
***
Di keheningan malam, terbayang kembali menjengukku, teringat kembali cerita nenek yang tak pernah keriput di ingatanku, tentang sosok laki bertubuh cakap tapi memiliki hati yang lemah, itulah ayahku, kanker hati yang mengindap dalam tubuhnya membuat waktunya menghirup udara bumi cukup singkat, di hari aku diciptakan lahir bersua dengannya di situ pulalah dia menghilang dari persuaan itu.
Ahmad Togar Amir”, tiga kata yang masih berbekas lekat dalam diriku saa-saat mengiringi nafas terakhirnya, sebuah nama yang sangat berkesan dalam hidupku, tersimpan banyak arti serta tapa’ul di balik nama itu, betapa ayahku berharap aku menjadi anak yang berbakti, taat beragama, mendoakan kedua orang tuanya, itulah yang tersimpan di balik awal namaku, Togar Amir fisiknya memperlihatkan khas suku batak mandailingnya, menyimpan arti agar aku kelak menjadi  pemimpin yang kuat jasmani dan rohani yang bisa menuntun keluargaku kejalan yang lurus, setidaknya kekurangan yang terjadi dalam dirinya semoga tidak bersentuhan pada diriku.
Ditengah hiruk-pikuk ekonomi yang memberatkan tanggungan orang tak berada seperti kami, di usiaku yang baru  genap dua tahun, ibuku seorang makhluk yang luar biasa, memilih jalan untuk menjadi TKW di arab Saudi, sebagai jalan untuk mempermudah proses pernafasan kebutuhan kami, sejak dari situ aku dititipkan kepada nenekku yang sudah cukup beruban, tapi senyum keriput dipipinya masih terlihat ceria di setiap sambutan pagiku, di usiaku yang dua tahun itu, ingatanku belum sempat menyimpat seluk-beluk ras wajah ibu, hanya mengandalkan selembar potret pernikahan ayah dan ibu aku merasa kalau keduanya tak kan pernah asing bagiku.
Kasih sayang seorang ibu yang diperantarakan oleh nenek, wanita paling bijaksana dalam hidupku, menumbuhkan aku menjadi orang yang merasa paling beruntung dalam hidup ini, setitik pun rasa mengeluh tak pernah mampir di pikiranku saat aku melihat canda senyum keluarga lengkap teman-temanku, aku merasa canda itu selalu ada dalam diriku, meski jasad kedua orang tuaku terlampaui jarak batas yang jauh dari badanku, tapi aku merasa kalau mereka dekat di sisiku.
***
Secerah apapun hari itu, pasti ada secercah awan yang menaungi sehingga kelabu kadang mewarnai keindahan cerahnya, suasana itupun terjadi ketika butir-butir ejekan teman-temanku saat bu guru menyinggung hari ibu di kelas singgah di daun telingaku.
“Bu, bagaimana togar merayakan hari ibunya sedangkan dia sendiri tidak mengenal ibunya?,,, hahahaha”. Sorakan tawa itu seolah menembus jantungku yang hampir copot dari peganganannya.
Sehabis sholat magrib berjama’ah di rumah, yang diimami oleh nenekku, mengingat diriku belum bisa berdiri di depan,  aku rebahkan kepalaku di pangkuan nenek yang mulai terasa rapuh, aku tumpahkan keluh kesah yang terhimpun di pikiranku, ejekan teman-teman yang menerobos hatiku di kelas tadi, seraya air mata menembus bendungan yang sudah tak kuat lagi menahan arus derasnya.
“nek,,,sebenarnya ibu dimana?,, kenapa bertahun-tahun dia belum pulang?”, tanyaku kepada nenek sambil diiringi gerimis rengekku.
“ibumu ada disana, di arah dimana kamu menghadap di waktu sholat, dia akan pulang membawa segudang cinta yang ia simpan selama ini untukmu,” dengan berusaha tegar nenek menunjuk kearah dimana sajadah yang masih terhampar di dudukan kami, yang juga menghadap kearah itu. Dari sikap ketidak perduliannya terhadap tangisku, aku menangkap pelajaran ketegaran dari dalam dirinya.
Kubuka jendela rumah yang mulai reot itu, kupandang kearah dimana qiblat dan ibuku berada, yang terpapang di mataku hanya hamparan tinggi gunung sorik merapi, dengan rasa kepercaya diriannya kokoh memaku bumi ciptaan sang penguasa. Dari ketinggiannya aku bisa membayangkan bahwa ibuku adalah sosok makhluk wanita yang luar biasa, hingga bisa melewati setinggi gunungpun untuk memperjuangkan hidup kami.
Sejauh ini aku dan nenek hanya bergantung pada gaji yang dikirim ibuku setiap perbulannnya, tak ada yang bisa kami lakukan didesa terpencil seperti ini, nenek yang sudah renta sudah tak kuat lagi memikul punggungnya kesawah, sedangkan anak kecil seperti aku belum tahu menahu tentang mencari makan, uang kiriman ibu lumayan cukup buat keperluanku dan nenek setiap hari, ditambah dengan hadiah ulang tahunku dari ibu setiap tahunnya, meskipun isinya hanya selembar kertas bergores selamat ulang tahun, serta dua buah kain sajadah berukuran kecil dan besar buat aku dan nenek, itu merupakan hadiah paling berharga yang kumiliki, dari situlah aku meraskan keberadaan ibu dan masih sayang padaku.
Tapi yang mengubah warna lamunanku menjadi samar saat jelajahannya tiba di alam masaku, semenjak tiga bulan terakhir ini kabar tentang ibu hilang terabaikan media, suasana suram itu pun mencemari udara yang kuhirup menjadi seolah kurang enak hingga membawaku terlarut dalam dunia-dunia ketermanguan, tangan nenek yang lemah, tulang yang mulai rapuh yang diselimuti kulit keriput seribu terpaksa menggerakkan kekuatan seadanya untuk memikul beban kebutuhan kami sehari-hari, menjual kue lopek maga khas mandailing dengan tampilan seadanya yang dibuat dengan tangan seadanya di sekolah sudah menjadi sampingan belajarku, hasilnya memang seadanya dan bahkan buat makan kami sehari-hari kadang tidak cukup.
Aku mencoba mengayunkan jariku untuk menulis surat yang kukirimkan melalui jama’ah haji yang berangkat tahun ini, sepuluh tahun sudah berlalu ibu di perantauan, aku merasa waktu itu sudah cukup lama dan aku berharap ibu akan pulang. Tak lupa juga aku sisipkan selembar ulos yang dikenakan ibu di hari pernikahannya, aku selalu menyimpannya di lemari dan kubawa tidur saat aku rindu kepada ibu. kata nenek kain ulos ini sebuah simbol suku batak yang mensabdakan semua penduduknya untuk mengingat kampung halamannya, aku sangat berharap kain ini sampai di tangan ibu dan bisa mengerti maksudku.
Kabar burung yang menyerang media bercerita tentang penganiayaan TKW di arab Saudi menghantui alam kelabuku, terlebih saat berita itu memperlihatkan faktanya, terbukti saat seorang warga desa kampung seberang yang baru pulang dari perantauannya dinegara kelahiran nabi, tiba dengan sosok yang mengagungkan, diantar dengan mobil berlampu disko di atapnya, disambut keramaian orang turut menyandang singgasana peristirahatannya, berupa peti persegi empat yang berisi jenazah sang insan mulia, sebagai salah seorang korban penganiayaan tuannya.
pandangan setiap orang saat aku menelusuri jalan menuju sekolah seakan tertuju padaku, pandangan iba atas nasib batang kara yang bertandang dalam tubuhku, bagi mereka hilangnya kabar tentang ibuku seraya memberi isyarat bahwa akulah sebatang kara. Aku sendiri bertanya-tanya apa aku memang ditakdirkan untuk tidak akan sempat bertatapan mata dengan sang ibu. Hampir setiap hari kakiku menginjak rumah pak RT menanyakan barangkali ibu pernah menghubunginya melalului telepon, mengingat hanya pak pak RT-lah satu-satunya yang mempunyai pesawat telepon di desa kami.
“belum ada gar, sabar saja dulu mungkin ibumu lagi sibuk haji, makanya tak beri kabar”, sambil tangannnya mengusap kepalaku pak RT berusaha menegarkanku.
Begitu juga nenek yang juga tak bosan-bosannya menyuruhku selalu mendoakan ibu di setiap selesai sholat.
“Barangkali ibumu lagi sibuk mengumpulin ongkos pulang menjengukmu,” ujar nenek saat aku mengeluh kenapa ibu tak pernah kirim uang lagi.
Liburan sekolah kali ini, nenek mengajakku menjenguk makam ayah yang tidak jauh dari desa kami, hampir setiap minggu aku berpapasan dengan batu nisan di depanku, sambil merebahkan kepalaku di pangkuan nenek yang menuturkan bacaan surat yasin, surat yang tidak jarang lagi di telingaku, bahkan setiap malam jum’at gubuk reot kami dipenuhi lantunan surat itu, aku memandangi ukiran sejarah tersingkat berupa nama, tanggal lahir, dan diakhiri dengan tanggal wafat, yang tertulis di batu nisan itu.
Sehabis lantunan nada surat yasin mereda, aku mencoba mengajak bebatuan yang menyelimuti jasad ayah untuk berbagi cerita.
“ayah, aku datang menjenguk persemayamanmu, di pertengahan jalanku, ketegaran yang kau gambarkan dalam diriku terasa mulai pudar, nama yang kau topangkan ketubuhku mulai meleleh berjatuhan, aku tak tahu kemana kusandarkan diriku yang melemah ini, kenapa kau begitu cepat hilang dari dekapku, belum lagi ibu yang tidak pernah lagi beri kabar. Ayah, aku merasa sangat kesepian saat ini”, Rengekku di samping nisan ayah membanjiri bebatuan yang mendiamiku.
Aku tak merasakan adanya jawaban dari makhluk yang sudah lama bertapa di kediamannya, batu nisan yang kupandangi hanya diam cemberut dengan wajah lusuhnya dilumuri abu, hanya keheningan yang kurasakan, serta curahan air mata nenek yang menghujani pipiku membuatku terbangun dari bebatuan itu, menghadap dekapan hangat pelukannya yang juga tidak kuat lagi menahan suasana mendung yang juga terjadi pada dirinya. Aku mulai berontak meronta-ronta, marah kenapa keluhanku sunyi dari sahutan ayah, tapi dekapan kasih sayang nenek cukup kuat menahan tingkahku.
***
Hari ini hari ulang tahunku, tanpa ada kado dari ibu berupa penyokong semangatku. aku tidak melaksanakan tugasku sehari-hari kerumah pak RT lagi, tak tahu kenapa di persimpangan jalan rasa kesal dan sedikit putus asa menghalangi langkahku menuju rumahnya. Aku lebih terpesona dengan ajakan teman-temanku bermain bola di sebuah lapangan dekat kaki gunung.
“Trringg,, trriinggg,,trringg,,trrring”, suara telepon berbunyi menandakan seorang insan yang dengan harapan kirannya  seruannya ada yang menyahut.
“assalamu’alaikum,,,apa benar ini dengan pak Rusdy di kelurahan Rajo kecamatan lembah sorik marapi, mandailing natal?”, dari gagang telepon itu terdengar pertanyaan yang dilemparkan kepada pak RT.
“ya, ini dengan saya sendiri, ada yang bisa dibantu?”.
“ya, ini kami dari kantor jasa pengiriman barang pak, kami menerima barang dari arab saudi mau dikirimkan ke alamat didesa kelurahan bapak untuk ibu Marni selaku warga disitu, berupa kotak persegi empat, yang seharusnya tiba di alamat hari ini, apa kirimannya sudah sampai pak?”, jawabnya dengan jelas yang menurut pak Rusdy tak ada yang perlu diulang lagi dan langsung menutup teleponnya.
“astaghfirulloh,,,inna lillahi wainna ilaihi roji’un”, Mendengar kata-kata kotak persegi empat itu, sepontan tangkapan pak Rusdy tertuju pada misteri yang menghantui warga kampungku. Kebenaran Misteri yang setiap hari kupertanyakan padanya.
Bersama dengan kesedihan  pak Rusdy, berita itu pun menginap di daun telinga nenek, pertahanan jantungnya terasa mulai goyah, reotan gubuk terasa membawanya roboh, kakinya yang lemah tak kuasa lagi berpijak kuat, tak sadar kalau badannya tergopoh jatuh kehamparan tikarnya.
Berbeda denganku yang masih memandangi pesona keegoan alam, hingga terik mentarilah yang mau mendekati ubun-ubun membawaku beranjak menuju pulang, di kejauhan aku melihat penduduk berbondong-bondong menuju arah gang rumah nenekku, ditambah dengan lambaian barisan bendera kuning di tepi jalan.
Setiba dirumah aku menemukan nenek tergeletak menangis di tempat tidurnya, dengan kumpulan banyak orang yang mengiangkan isi rumah dengan alunan bacaan surat yasin.
“seorang Togar harus tegar, doakan ibumu biar bersama ayahmu disyurga”. Sambil membagi berita misterius itu, pak RT mendekap dan mencoba mengkuatkanku. Badanku terasa betul-betul lemah, nama togar dalam diriku sudah terbang jauh, gunung sorik marapi seolah pecah berkeping-keping. Kali ini dekapan pak RT tak bisa membendung rontaku dibarengi dengan parau tangisku yang nyaring keluar. Iringan Tangisan warga seolah sedikit menunjang berontakku, membawaku jatuh tersungkur seperti orang kesurupan.
“Tuhan,,, sudah lengkap derita dalam diriku, aku ikhlas atas kekurangan kasih ayah yang kau timpakan padaku, tapi kasih ibu yang kurindu juga ternyata tak kau jamahkan padaku, lelah sudah aku menghadapi ujian ini, aku tak tahu masihkah ketegaran akan menopang didiri ini, setelah kedua sayapnya lumpuh tak berdaya.”
Aku terpenjara dalam bui penderitaanku, aku hanya berteman dengan lembaran-lembaran kain ulos yang dikenakan para pelayat, corak warnanya yang begitu mencolok, serta manik-manik yang bergantungan melambai-lambai tak bisa lagi menghibur sedihku, dominasi warna hitam, merah, putih, dan tenunan dari berbagai benang warna emas tak bisa lagi menjadi teman dukaku,  hanya getaran doa serta  bacaan alqur’an yang menggema suasana piluku.
Dikeheningan menunggu jenazah ibu, tiba-tiba sebuah mobil truk cold diesel berspanduk jasa pengiriman dor to dor merapat kearah rumah duka, seorang pria bepakaian rapi dengan seragamnya keluar, dan membuka bak mobilnya, seraya membawa kotak persegi empat seukuran kardus mi instant menuju rumahku, setelah pak RT menanda tangani kertas yang dibawa pria itu, dengan buru-burunya dia beranjak menginjak gas mobilnya tanpa seribu kata.
“mobil ambulannya dimana ya?”
“peti jenazahnya dimana?”
Seribu pertanyaan menghampiri segenap penduduk warga.
Dikepala kardus itu tertulis nama nenek dengan alamat lengkapnya. Dengan tangan gemetar aku mencoba membukanya, isinya hanya sepucuk surat ditambah dua kitab alqur’an cetakan arab Saudi. Ukiran tinta disampul surat itu tak asing lagi bagiku, dari ibu untukku. Aku mencoba membacanya dengan suara serak di depan banyak warga, barangkali itu wasiat terakhir dari ibu.
“kepada Togar anakku tersayang di kelelahan penungguan, dari ibumu yang merindukanmu
Sebelumnya ibu minta maaf tidak beri kabar dan mengirim belanja. Kesibukan ibu mengumpulkan ongkos mungkin membuat Togar gelisah. Diulang tahun kesepuluhmu ini ibu mengirim mushaf qur’an sebagai hadiah dan tandanya Togar sudah bisa baca qur’an, setelah menunaikan ibadah haji, bulan depan ibu akan pulang kerumah. Rajin belajar ya, turuti apa kata nenek.
Dari Masriani, ibumu”.
Isi surat serta permintaan maaf dari pak RT atas kesalah pahaman berita ini, menjadi jawaban dari gumpulan tanda tannya yang meghening dikepala warga.
Bubaran warga seraya dengan kembalinya senyum cerah pemandangan gunung sorik marapi, membekaskan kasih sayang tuhan masih bisa kunikmati melalui dekapan hangat ibuku.


Amar Al-Hasby

Tidak ada komentar:

Posting Komentar