Senyum kelabu mentari pagi di hari itu seolah
mengobsesikan rasa keterpaksaannya bangkit dari dari persemayamannya, seraya
suasana hening menghantui penduduk desa lembah kaki gunung sorik merapi,
musibah yang memang tak dianggap jarang kembali menimpa para insan yang mempunyai
hati lembut itu, bendera kuning dengan ayunya melambai-lambai di pinggiran
jalan menuju gang rumah bu Marni, hanya tetesan air mata serta gerakan lidah
seraya berdoa yang bisa dilakukan seorang hamba yang lemah, saat sang yang
memiliki ruh itu mengambilnya dari jasad seseorang yang dicinta,
***
Di keheningan malam, terbayang kembali menjengukku,
teringat kembali cerita nenek yang tak pernah keriput di ingatanku, tentang
sosok laki bertubuh cakap tapi memiliki hati yang lemah, itulah ayahku, kanker
hati yang mengindap dalam tubuhnya membuat waktunya menghirup udara bumi cukup
singkat, di hari aku diciptakan lahir bersua dengannya di situ pulalah dia
menghilang dari persuaan itu.
“Ahmad Togar Amir”, tiga kata yang masih berbekas
lekat dalam diriku saa-saat mengiringi nafas terakhirnya, sebuah nama yang
sangat berkesan dalam hidupku, tersimpan banyak arti serta tapa’ul di balik
nama itu, betapa ayahku berharap aku menjadi anak yang berbakti, taat beragama,
mendoakan kedua orang tuanya, itulah yang tersimpan di balik awal namaku, Togar
Amir fisiknya memperlihatkan khas suku batak mandailingnya, menyimpan arti agar
aku kelak menjadi pemimpin yang kuat
jasmani dan rohani yang bisa menuntun keluargaku kejalan yang lurus, setidaknya
kekurangan yang terjadi dalam dirinya semoga tidak bersentuhan pada diriku.
Ditengah hiruk-pikuk ekonomi yang memberatkan
tanggungan orang tak berada seperti kami, di usiaku yang baru genap dua tahun, ibuku seorang makhluk yang
luar biasa, memilih jalan untuk menjadi TKW di arab Saudi, sebagai jalan untuk
mempermudah proses pernafasan kebutuhan kami, sejak dari situ aku dititipkan
kepada nenekku yang sudah cukup beruban, tapi senyum keriput dipipinya masih terlihat
ceria di setiap sambutan pagiku, di usiaku yang dua tahun itu, ingatanku belum
sempat menyimpat seluk-beluk ras wajah ibu, hanya mengandalkan selembar potret
pernikahan ayah dan ibu aku merasa kalau keduanya tak kan pernah asing bagiku.
Kasih sayang seorang ibu yang diperantarakan oleh
nenek, wanita paling bijaksana dalam hidupku, menumbuhkan aku menjadi orang
yang merasa paling beruntung dalam hidup ini, setitik pun rasa mengeluh tak
pernah mampir di pikiranku saat aku melihat canda senyum keluarga lengkap
teman-temanku, aku merasa canda itu selalu ada dalam diriku, meski jasad kedua
orang tuaku terlampaui jarak batas yang jauh dari badanku, tapi aku merasa
kalau mereka dekat di sisiku.
***
Secerah apapun hari itu, pasti ada secercah awan yang
menaungi sehingga kelabu kadang mewarnai keindahan cerahnya, suasana itupun
terjadi ketika butir-butir ejekan teman-temanku saat bu guru menyinggung hari
ibu di kelas singgah di daun telingaku.
“Bu, bagaimana togar merayakan hari ibunya sedangkan
dia sendiri tidak mengenal ibunya?,,, hahahaha”. Sorakan tawa itu seolah
menembus jantungku yang hampir copot dari peganganannya.
Sehabis sholat magrib berjama’ah di rumah, yang
diimami oleh nenekku, mengingat diriku belum bisa berdiri di depan, aku rebahkan kepalaku di pangkuan nenek yang
mulai terasa rapuh, aku tumpahkan keluh kesah yang terhimpun di pikiranku,
ejekan teman-teman yang menerobos hatiku di kelas tadi, seraya air mata
menembus bendungan yang sudah tak kuat lagi menahan arus derasnya.
“nek,,,sebenarnya ibu dimana?,, kenapa bertahun-tahun
dia belum pulang?”, tanyaku kepada nenek sambil diiringi gerimis rengekku.
“ibumu ada disana, di arah dimana kamu menghadap di waktu
sholat, dia akan pulang membawa segudang cinta yang ia simpan selama ini
untukmu,” dengan berusaha tegar nenek menunjuk kearah dimana sajadah yang masih
terhampar di dudukan kami, yang juga menghadap kearah itu. Dari sikap ketidak perduliannya
terhadap tangisku, aku menangkap pelajaran ketegaran dari dalam dirinya.
Kubuka jendela rumah yang mulai reot itu, kupandang
kearah dimana qiblat dan ibuku berada, yang terpapang di mataku hanya hamparan
tinggi gunung sorik merapi, dengan rasa kepercaya diriannya kokoh memaku bumi
ciptaan sang penguasa. Dari ketinggiannya aku bisa membayangkan bahwa ibuku
adalah sosok makhluk wanita yang luar biasa, hingga bisa melewati setinggi
gunungpun untuk memperjuangkan hidup kami.
Sejauh ini aku dan nenek hanya bergantung pada gaji
yang dikirim ibuku setiap perbulannnya, tak ada yang bisa kami lakukan didesa
terpencil seperti ini, nenek yang sudah renta sudah tak kuat lagi memikul
punggungnya kesawah, sedangkan anak kecil seperti aku belum tahu menahu tentang
mencari makan, uang kiriman ibu lumayan cukup buat keperluanku dan nenek setiap
hari, ditambah dengan hadiah ulang tahunku dari ibu setiap tahunnya, meskipun
isinya hanya selembar kertas bergores selamat ulang tahun, serta dua buah kain
sajadah berukuran kecil dan besar buat aku dan nenek, itu merupakan hadiah
paling berharga yang kumiliki, dari situlah aku meraskan keberadaan ibu dan
masih sayang padaku.
Tapi yang mengubah warna lamunanku menjadi samar saat
jelajahannya tiba di alam masaku, semenjak tiga bulan terakhir ini kabar
tentang ibu hilang terabaikan media, suasana suram itu pun mencemari udara yang
kuhirup menjadi seolah kurang enak hingga membawaku terlarut dalam dunia-dunia
ketermanguan, tangan nenek yang lemah, tulang yang mulai rapuh yang diselimuti
kulit keriput seribu terpaksa menggerakkan kekuatan seadanya untuk memikul
beban kebutuhan kami sehari-hari, menjual kue lopek maga khas mandailing
dengan tampilan seadanya yang dibuat dengan tangan seadanya di sekolah sudah
menjadi sampingan belajarku, hasilnya memang seadanya dan bahkan buat makan
kami sehari-hari kadang tidak cukup.
Aku mencoba mengayunkan jariku untuk menulis surat
yang kukirimkan melalui jama’ah haji yang berangkat tahun ini, sepuluh tahun
sudah berlalu ibu di perantauan, aku merasa waktu itu sudah cukup lama dan aku
berharap ibu akan pulang. Tak lupa juga aku sisipkan selembar ulos yang
dikenakan ibu di hari pernikahannya, aku selalu menyimpannya di lemari dan
kubawa tidur saat aku rindu kepada ibu. kata nenek kain ulos ini sebuah
simbol suku batak yang mensabdakan semua penduduknya untuk mengingat kampung
halamannya, aku sangat berharap kain ini sampai di tangan ibu dan bisa mengerti
maksudku.
Kabar burung yang menyerang media bercerita tentang
penganiayaan TKW di arab Saudi menghantui alam kelabuku, terlebih saat berita
itu memperlihatkan faktanya, terbukti saat seorang warga desa kampung seberang
yang baru pulang dari perantauannya dinegara kelahiran nabi, tiba dengan sosok
yang mengagungkan, diantar dengan mobil berlampu disko di atapnya, disambut
keramaian orang turut menyandang singgasana peristirahatannya, berupa peti
persegi empat yang berisi jenazah sang insan mulia, sebagai salah seorang korban
penganiayaan tuannya.
pandangan setiap orang saat aku menelusuri jalan
menuju sekolah seakan tertuju padaku, pandangan iba atas nasib batang kara yang
bertandang dalam tubuhku, bagi mereka hilangnya kabar tentang ibuku seraya
memberi isyarat bahwa akulah sebatang kara. Aku sendiri bertanya-tanya apa aku
memang ditakdirkan untuk tidak akan sempat bertatapan mata dengan sang ibu.
Hampir setiap hari kakiku menginjak rumah pak RT menanyakan barangkali ibu
pernah menghubunginya melalului telepon, mengingat hanya pak pak RT-lah
satu-satunya yang mempunyai pesawat telepon di desa kami.
“belum ada gar, sabar saja dulu mungkin ibumu lagi
sibuk haji, makanya tak beri kabar”, sambil tangannnya mengusap kepalaku pak RT
berusaha menegarkanku.
Begitu juga nenek yang juga tak bosan-bosannya
menyuruhku selalu mendoakan ibu di setiap selesai sholat.
“Barangkali ibumu lagi sibuk mengumpulin ongkos pulang
menjengukmu,” ujar nenek saat aku mengeluh kenapa ibu tak pernah kirim uang
lagi.
Liburan sekolah kali ini, nenek mengajakku menjenguk
makam ayah yang tidak jauh dari desa kami, hampir setiap minggu aku berpapasan
dengan batu nisan di depanku, sambil merebahkan kepalaku di pangkuan nenek yang
menuturkan bacaan surat yasin, surat yang tidak jarang lagi di telingaku,
bahkan setiap malam jum’at gubuk reot kami dipenuhi lantunan surat itu, aku
memandangi ukiran sejarah tersingkat berupa nama, tanggal lahir, dan diakhiri
dengan tanggal wafat, yang tertulis di batu nisan itu.
Sehabis lantunan nada surat yasin mereda, aku mencoba
mengajak bebatuan yang menyelimuti jasad ayah untuk berbagi cerita.
“ayah, aku datang menjenguk persemayamanmu, di pertengahan
jalanku, ketegaran yang kau gambarkan dalam diriku terasa mulai pudar, nama
yang kau topangkan ketubuhku mulai meleleh berjatuhan, aku tak tahu kemana
kusandarkan diriku yang melemah ini, kenapa kau begitu cepat hilang dari
dekapku, belum lagi ibu yang tidak pernah lagi beri kabar. Ayah, aku merasa
sangat kesepian saat ini”, Rengekku di samping nisan ayah membanjiri bebatuan
yang mendiamiku.
Aku tak merasakan adanya jawaban dari makhluk yang
sudah lama bertapa di kediamannya, batu nisan yang kupandangi hanya diam
cemberut dengan wajah lusuhnya dilumuri abu, hanya keheningan yang kurasakan, serta
curahan air mata nenek yang menghujani pipiku membuatku terbangun dari bebatuan
itu, menghadap dekapan hangat pelukannya yang juga tidak kuat lagi menahan
suasana mendung yang juga terjadi pada dirinya. Aku mulai berontak
meronta-ronta, marah kenapa keluhanku sunyi dari sahutan ayah, tapi dekapan
kasih sayang nenek cukup kuat menahan tingkahku.
***
Hari ini hari ulang tahunku, tanpa ada kado dari ibu
berupa penyokong semangatku. aku tidak melaksanakan tugasku sehari-hari kerumah
pak RT lagi, tak tahu kenapa di persimpangan jalan rasa kesal dan sedikit putus
asa menghalangi langkahku menuju rumahnya. Aku lebih terpesona dengan ajakan
teman-temanku bermain bola di sebuah lapangan dekat kaki gunung.
“Trringg,, trriinggg,,trringg,,trrring”, suara telepon
berbunyi menandakan seorang insan yang dengan harapan kirannya seruannya ada yang menyahut.
“assalamu’alaikum,,,apa benar ini dengan pak Rusdy di
kelurahan Rajo kecamatan lembah sorik marapi, mandailing natal?”, dari gagang
telepon itu terdengar pertanyaan yang dilemparkan kepada pak RT.
“ya, ini dengan saya sendiri, ada yang bisa dibantu?”.
“ya, ini kami dari kantor jasa pengiriman barang pak,
kami menerima barang dari arab saudi mau dikirimkan ke alamat didesa kelurahan
bapak untuk ibu Marni selaku warga disitu, berupa kotak persegi empat, yang
seharusnya tiba di alamat hari ini, apa kirimannya sudah sampai pak?”, jawabnya
dengan jelas yang menurut pak Rusdy tak ada yang perlu diulang lagi dan
langsung menutup teleponnya.
“astaghfirulloh,,,inna lillahi wainna ilaihi roji’un”,
Mendengar kata-kata kotak persegi empat itu, sepontan tangkapan pak Rusdy
tertuju pada misteri yang menghantui warga kampungku. Kebenaran Misteri yang
setiap hari kupertanyakan padanya.
Bersama dengan kesedihan pak Rusdy, berita itu pun menginap di daun
telinga nenek, pertahanan jantungnya terasa mulai goyah, reotan gubuk terasa
membawanya roboh, kakinya yang lemah tak kuasa lagi berpijak kuat, tak sadar
kalau badannya tergopoh jatuh kehamparan tikarnya.
Berbeda denganku yang masih memandangi pesona keegoan
alam, hingga terik mentarilah yang mau mendekati ubun-ubun membawaku beranjak
menuju pulang, di kejauhan aku melihat penduduk berbondong-bondong menuju arah
gang rumah nenekku, ditambah dengan lambaian barisan bendera kuning di tepi
jalan.
Setiba dirumah aku menemukan nenek tergeletak menangis
di tempat tidurnya, dengan kumpulan banyak orang yang mengiangkan isi rumah
dengan alunan bacaan surat yasin.
“seorang Togar harus tegar, doakan ibumu biar bersama
ayahmu disyurga”. Sambil membagi berita misterius itu, pak RT mendekap dan
mencoba mengkuatkanku. Badanku terasa betul-betul lemah, nama togar dalam
diriku sudah terbang jauh, gunung sorik marapi seolah pecah berkeping-keping.
Kali ini dekapan pak RT tak bisa membendung rontaku dibarengi dengan parau
tangisku yang nyaring keluar. Iringan Tangisan warga seolah sedikit menunjang
berontakku, membawaku jatuh tersungkur seperti orang kesurupan.
“Tuhan,,, sudah lengkap derita dalam diriku, aku
ikhlas atas kekurangan kasih ayah yang kau timpakan padaku, tapi kasih ibu yang
kurindu juga ternyata tak kau jamahkan padaku, lelah sudah aku menghadapi ujian
ini, aku tak tahu masihkah ketegaran akan menopang didiri ini, setelah kedua
sayapnya lumpuh tak berdaya.”
Aku terpenjara dalam bui penderitaanku, aku hanya
berteman dengan lembaran-lembaran kain ulos yang dikenakan para pelayat,
corak warnanya yang begitu mencolok, serta manik-manik yang bergantungan
melambai-lambai tak bisa lagi menghibur sedihku, dominasi warna hitam, merah,
putih, dan tenunan dari berbagai benang warna emas tak bisa lagi menjadi teman
dukaku, hanya getaran doa serta bacaan alqur’an yang menggema suasana piluku.
Dikeheningan menunggu jenazah ibu, tiba-tiba sebuah
mobil truk cold diesel berspanduk jasa pengiriman dor to dor merapat
kearah rumah duka, seorang pria bepakaian rapi dengan seragamnya keluar, dan
membuka bak mobilnya, seraya membawa kotak persegi empat seukuran kardus mi
instant menuju rumahku, setelah pak RT menanda tangani kertas yang dibawa pria
itu, dengan buru-burunya dia beranjak menginjak gas mobilnya tanpa seribu kata.
“mobil ambulannya dimana ya?”
“peti jenazahnya dimana?”
Seribu pertanyaan menghampiri segenap penduduk warga.
Dikepala kardus itu tertulis nama nenek dengan alamat
lengkapnya. Dengan tangan gemetar aku mencoba membukanya, isinya hanya sepucuk
surat ditambah dua kitab alqur’an cetakan arab Saudi. Ukiran tinta disampul
surat itu tak asing lagi bagiku, dari ibu untukku. Aku mencoba membacanya dengan
suara serak di depan banyak warga, barangkali itu wasiat terakhir dari ibu.
“kepada Togar anakku tersayang di kelelahan
penungguan, dari ibumu yang merindukanmu
Sebelumnya ibu minta maaf tidak beri kabar dan
mengirim belanja. Kesibukan ibu mengumpulkan ongkos mungkin membuat Togar
gelisah. Diulang tahun kesepuluhmu ini ibu mengirim mushaf qur’an
sebagai hadiah dan tandanya Togar sudah bisa baca qur’an, setelah
menunaikan ibadah haji, bulan depan ibu akan pulang kerumah. Rajin belajar ya,
turuti apa kata nenek.
Dari Masriani, ibumu”.
Isi surat serta permintaan maaf dari pak RT atas
kesalah pahaman berita ini, menjadi jawaban dari gumpulan tanda tannya yang
meghening dikepala warga.
Bubaran warga seraya dengan kembalinya senyum cerah
pemandangan gunung sorik marapi, membekaskan kasih sayang tuhan masih bisa
kunikmati melalui dekapan hangat ibuku.
Amar Al-Hasby
Tidak ada komentar:
Posting Komentar