Teman Blog Terbaik

Selasa, 17 Desember 2013

FESTIVAL BATIK Nitik Karawitan dan Putri Truntum

Kata eyang Muti, aku adalah seorang wanita pecinta yang penuh dengan kasih sayang, makanya aku diberi nama Kama yang dalam bahasa Sansekerta berarti cinta. Semenjak kecil aku sudah terbiasa tersenyum menyebarkan cinta untuk orang-orang di sekelilingku.
Kata Eyang, cinta adalah kekuatan terbesar yang dimiliki oleh manusia. Seperti kedua orang tuaku yang berhasil bertahan selama 20 tahun tanpa seorang anak karena kekuatan cinta. Makanya kelahiranku membawa setitik masa depan bagi keluarga, seperti setitik malam dari cucuk ujung canting.
Kata Eyang, cinta itu seperti perahu di lautan. Suatu hari nanti perahu itu pasti akan menepi ke darat. Tapi tidak semua daratan cocok untuk cinta. Karena cinta yang abadi hanya pantas untuk daratan yang tak bertangkahan.
Eyang Muti, aku merindukannya. Jiwa ini terasa  gersang tanpa nasehat-nasehatnya, tanpa semangatnya. Seandainya Eyang Muti masih hidup ketika aku menikah lima tahun yang lalu, mungkin Eyang Muti bisa memberi tahuku apakah mas Edi adalah daratan tak bertangkahan itu.
Kutaruh foto Eyang Muti tersenyum manis itu di atas mebel samping tempat tidurku. Khayalku ingin mengajakku kembali puluhan tahun silam, ketika Eyang Muti masih bernyawa, lalu aku akan bertanya :
“eyang, kenapa sampai sekarang Kama masih belum dikaruniai anak?”.
Eyang, aku mecintaimu.
Lalu pintu jati cokelat itu berderet, terlihat mas Edi sambil membuka kopiah hitamnya mucul dari balik pintu itu, lalu meletakkannya di atas meja hiasku dan duduk di sampingku. Guratan mukanya melukiskan kelelahan tak berkesudahan.
“apa yang mas pikirkan?”. Tanyaku sambil menyentuh punggungnya. Kelihatannya mas Edi sedang memikirkan sesuatu hingga tidak langsung merespon pertanyaanku. Aku hanya tersenyum, mencoba untuk mengerti berat beban pikirannya.
“mas?”. Kataku lembut sambil membetulkan bantalku untuk duduk bersender.
“iya?”.
“apa yang terjadi? Pelanggan sepi? Atau ada pelanggan yang protes?”.
“ah, tidak. Mas hanya berpikir tentang festival batik bulan depan”.
“kenapa? Setiap tahun kan kita ikut memeriahkannya”.
“tadi siang bapak walikota menelpon langsung ke mas, dia bilang tender batik festival itu diserahkan kepada kita”.
“ha? Acara tahunan yang gempar itu dipasrahkan pada kita?”. Aku takjub mendengarnya, sedikit tak percaya tapi hati kecilku sudah lebih dulu bersujud syukur.
“iya, mas sendiri masih ragu, apa masmu ini mampu? Mereka ingin batik dengan jumlah yang sangat banyak, sementara tenaga di sini kan sangat terbatas. Mas sudah tolak, tapi pak walikota tetap saja memaksa”.
“kita kan bisa beli mesin cetaknya mas?”.
“kamu ini, rumah batik ini terkenal dengan batik tulisnya, tapi, sepertinya usul kamu itu akan menjadi satu-satunya solusi, mas akan merasa sangat bersalah sekali kepada leluhur-leluhur mas”.
“mas, tidak perlu berkecil hati, ini kesempatan mas untuk bangkit, untuk lebih memperkenalkan batik kita pada masyarakat. Lagi pula, Kama sudah bosan tinggal seatap dengan gudang batik, di mana-mana ada batik, bahkan kamar kita yang kecil seperti ini saja masih disesaki sama batik-batiknya mas, terus bau tinta malam itu yang terkadang membuat Kama pusing. Kama ingin kita pindah rumah dan rumah ini kita manfaatkan untuk pembuatan batik aja mas”.
“iya, mas tahu, kamu sudah mengatakan ini lebih dari seratus kali”. Kata mas Edi sambil mencubit hidungku. Mas Edi membetulkan bantalnya dan membujurkan tubuhnya di sampingku.
“kamu doakan saja, semoga amanah ini bisa mas jalankan dengan baik, setelah itu kita bisa ngontrak rumah baru”. Lanjutnya, dan matanya pun terpejam.
Aku menatapnya lembut, mas Edi memang suami yang baik. Semenjak kami menikah hingga sekarang mas Edi tidak pernah berkata kasar padaku apalagi membentakku. Dia juga tidak pernah menyinggung kenapa hingga sekarang kami belum dikaruniai anak apalagi berpikir untuk selingkuh yang meski seandainya ia menikah lagi pun aku tidak berhak menghalanginya. Semoga cinta abadi kami dipertemukan dalam kesetiaan.
Mas Edi juga tidak pernah mengeluh tentang penghasilannya sebagai seorang pembuat batik. Semuanya ia jalani dengan tabah dan ikhlas. Dan setiap apa yang aku minta pasti selalu dipenuhi. Aku yakin, seandainya eyang Muti masih ada, pasti eyang akan mengatakan bahwa mas Edi lah daratanku itu. Eyang, Kama kecilmu sangat beruntung.
Aku sudah tidak sabar ingin pindah dari rumah ini. Aku ingin merasakan suasana yang baru, ingin hidup normal layaknya rumah tangga yang lainnya. Hidup di rumah sederhana tanpa limbaban katun perimis dan bau tinta malam. Yang setiap pagi bisa membetulkan kerah suaminya untuk berangkat kerja.
Memiliki kamar yang lengang dan bertembok putih, memiliki rumah yang setiap hari bisa kubersihkan, ingin tembok yang bisa kutempelkan foto-foto keluarga dan meja-meja yang bisa kuhiasi dengan bunga melati putih. Ingin jendela-jendela yang bisa kugantungi gorden-gorden mewah. Ah, pintaku sederhana kok, hanya ingin hidup normal seperti keluarga yang lainnya.
Lalu tatapku menemukan batik cokelat tergantung di dalam lemari kaca, bermotif Nitik Karawitan, batik yang dulu dikenakan mas Edi saat pernikahaan kami. Katanya batik ini menggambarkan kebijaksanaan, pantas saja sangat cocok di tubuh mas Edi.
***
Dua truk kain katun dan alat cetak pembuat batik telah tiba. Rumah kami pun dipadati tumpukan-tumpukan katun perimis, bahan dasar pembuatan batik. Di ruang cetak tampak beberapa karyawan mas Edi sedang mencetak batik desainan mas Edi. Mas Edi sendiri sedang berkonsentrasi di ruangan khususnya yang sempit.
            “mas”. Sapaku sambil meletakkan secangkir kopi. Mas Edi mangabaikanku dan meneruskan goresn cantingnya. Aku sudah biasa diabaikan mas Edi ketika ia lagi asyik melukis batik. Tapi aku mengerti, melukis batik bukanlah hal mudah, salah satu gores saja bisa membuat usaha yang sudah kita mulai berbulan-bulan yang lalu hancur.
            Aku memperhatikan batik lukisan mas Edi yang setengah jadi itu. Berwarna merah hati dengan motif bintang-bintang dikepung oleh bintang-bintang, sangat indah. Tapi aku gelisah hanya didiamkan oleh suamiku, terkadang aku juga cemburu dengan batik-batik ini, sepertinya mas Edi lebih memperhatikannya dari pada aku. Makanya aku selalu minta pindah pada mas Edi agar di rumah perhatian mas Edi bisa sepenuhnya untukku.
            “maas!”. Sapaku lagi lebih memanja.
            “hu um”.
            “mas sedang melukis apa?”. Tanyaku mencari perhatiannya.
            Dia mengangkat cantingnya dari permukaan kanvasnya lalu menarik nafas sambil memperhatikan hasil goresannya.
            “memangnya kenapa?”. Tanyanya lalu menggoreskan cantingnya lagi yang terbuat dari tembaga itu.
            “sepertinya Kama suka”. Kataku mulai tersihir oleh lukisan suamiku. “mas membuatnya untuk festival itu?”. Lanjutku.
            “emm, ini adalah batik spesial, mas sendiri tidak tahu apakah nanti akan mas berikan untuk festival itu atau tidak. Karena tak semua orang bisa mengenakan batik motif ini”. Katanya dengan sesekali menatapku.
            “motifnya apa?”. Aku semakin penasaran.
            “ini adalah Truntum, konon katanya batik Truntum diciptakan oleh Kanjeng Ratu Kencana, permaisuri Sunan Paku Buwana. Truntum sendiri berarti cinta yang tumbuh kembali, Kanjeng Ratu Kencana menciptakannya sebagai simbol cinta yang tulus tanpa syarat dan abadi”.
            “oh, pasti Kanjeng Ratu Kencana sangat cantik ketika mengenakan batiknya”. Kataku lirih, tertegun.
            “tentu saja, konon katanya dia adalah wanita tercantik pada masanya, tapi untuk masa sekarang, kau tetap lebih manis”.
            Duh, gombalan suamiku keluar lagi, aku jadi meleleh oleh kata-katanya.
            “oya, motif apa yang akan mas berikan untuk festival batik itu?”.
            “karena yang hadir lebih didominasi oleh anak-anak muda, mas lebih banyak membuat batik dengan motif Kawung dan Udan Liris, agar nilai keinginan, cita-cita, kerja keras serta ketabahan yang terdapat dalam makna motif itu bisa terpatri dalam diri mereka”.
***
            Sudah dua minggu ini, mas Edi tidak mencubit hidungku. Semakin dekat waktu festival, mas Edi menjadi semakin sibuk. Pagi, mas Edi sudah tidak tampak di rumah. Siang, mas Edi hanya pulang untuk mengecek batik-batiknya. Ketika aku mulai mengajaknya bicara, hapenya selalu saja menganggu. Malam, mas Edi kelelahan dan langsung tidur. Aku seolah hidup sendirian di rumah batik ini. Ini gara-gara batik! Batik ini telah merebut suamiku dari pelukanku!
            Perlahan kebersamaan dan kemesraan di antara kami berdua memang merenggang. Tapi sebagai wanita pecinta dan istri yang baik aku juga harus mengerti dengan pekerjaan dan tanggungjawab yang diemban oleh suamiku. Lagi pula, dari awal memang aku yang mendukung mas Edi untuk menerima tender dari bapak walikota itu. Dan aku juga tahu, mas Edi melakukan semuanya itu demi aku, karena uang dari penghasilan festival itu cukup untuk mengontrak rumah baru.
Aku tidak seharusnya khawatir berlebihan seperti ini. Kesibukan ini hanya sementara, setelah festival itu selesai, mas Edi akan kembali ke pelukanku. Hal ini membuatku membenci festival itu dan ingin festival itu segera berakhir.
            Hingga malam itu akhirnya tiba. Malam yang sangat dinanti-nantikan oleh pemuda-pemudi Solo. Malam yang di dalamnya semua orang akan merasa bahagia. Malam yang akan menyihir pemuda-pemudi Solo terlihat cantik dengan batik buatan suamiku. Malam yang semua orang yang hadir di alun-alun Solo itu  mengenakan batik. Malam yang hanya ada sekali dan satu tahun. Malam yang hanya ada di kota Solo. Sebuah malam cinta dan kasih sayang. Malam festival batik telah dimulai.
            Aku dan suamiku mendapat undangan resmi dari bapak walikota dan akan duduk sejejer dengan orang-orang penting. Kesempatan seemas ini bagi seorang pembuat batik harus mengenakan batik terbaiknya. Aku sendiri tidak tahu apa batik terbaik menurut mas Edi. Barang kali batik tua yang mas Edi petikan di lemari pernikahan kami. Katanya batik itu adalah Parang Rusak Barong, suatu motif batik yang diciptakan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma kemudian sering digunakan oleh raja-raja setelahnya. Tapi aku tidak suka dengan batik itu, seolah menggambarkan keangkuhan dan kerakusan.
            “Ma, kamu akan makai batik apa?”. Tanya suamiku tiba-tiba. Aku hanya bisa memukul kepalaku, karena hingga sekarang sebagai istri seorang pembuat batik untuk acara sepenting ini aku belum memikirkan untuk memakai batik apa. Lalu aku teringat dengan Truntum yang dilukis mas Edi hari itu. Barangkali aku bisa memakainya. Aku pun ingin meminta izin mas Edi untuk memakai batik itu. Tapi sebelum itu mas Edi sudah lebih dulu berdiri dengan batik merah manis itu di tangannya.
            “kamu adalah orang spesial itu”. Katanya.
Oh, hampir satu bulan kata-kata seindah itu tidak terucap dari bibirnya. Sepertinya, malam festival batik ini akan menjadi saksi kembalinya mas Edi ke pelukanku. Senyumku pun meleleh lagi dan aku mengenakannya.
            Kain merah hati yang dipenuhi dengan bintang-bintang yang mengepung bintang-bintang itu melilit kulit putihku. Sepertinya mas Edi benar, bahwa di zaman sekarang aku terlihat lebih manis dari Kanjeng Ratu Kencana. Aku yakin, di festival nanti, si putri Truntum ini akan menjadi wanita tercantik yang pernah lahir ke dunia. Oh, bahagianya.
            Setelah rapi aku langsung bergegas menghampiri mas Edi yang sudah menungguku. Kupikir, aku memang putri Truntum yang tercantik itu. Tapi sepertinya ada kejanggalan antara aku dan mas Edi. Mas Edi sangat gagah dengan batik Parang Rusak Barong-nya, batik kuning dengan corak senjata dan kekuasaan. Sedangkan aku adalah batik Truntum dengan kasih sayangnya. Seolah kami berdua sangat asing dan berbeda. Membuatku sedikit aneh ketika kami jalan bersama dan mas Edi menggenggam tanganku.
            Kami pun tiba di alun-alun kota Solo pukul delapan malam. Sederet tamu penting undangan berdiri menyambut kami. Aku tidak menyangka perayaannya akan semeriah ini. Hadir juga menteri pariwisata dan ekonomi kreatif, bapak gubernur, juga wanita cantik mantan putri Indonesia. Kemudian bapak walikota dan wakilnya datang menyambut kami. Kami menyalami orang-orang penting itu satu per satu sambil pak walikota mengenalkan kami pada mereka.
            Malam itu berlangsung sangat gempita, semua orang yang hadir pasti gembira. Pada pertengahan malam kembang api pun diletupkan, menambah suasana kota Solo menjadi kota yang paling romantis. Ah, malam cinta, malam batik, malam yang indah.
Tetapi, kenapa bathinku bergejolak tak menentu, seolah sesuatu yang tak akan kutemukan lagi akan segera lenyap. Kulihat mas Edi yang sedang asyik berbicara dengan mantan putri Indonesia itu, kenapa hatiku begitu gelisah, mas? Bisikku dalam hati. Lalu kulihat mantan putri Indonesia itu, apa karena aku kalah pesona dari dia? Kurasa tidak. Mas Edi, aku ingin dia di sampingku.
***
Setelah festival batik itu, mas Edi benar-benar menepati janjinya padaku. Kami mengontrak rumah baru yang cukup besar, berada agak jauh dari rumah batiknya. Ternyata hasil tender itu tidak hanya cukup untuk mengontrak sebuah rumah, bahkan mas Edi mampu membeli Toyota Accord baru berkilat, bisa membeli peralatan-peralatan rumah tangga baru, bahkan mas Edi memberiku seuntai kalung emas yang sangat mahal. Kami seolah kaya mendadak dan aku seolah Kanjeng Ratu Kencana abad millennium.
Kini, aku memiliki kamar besar tanpa tumpukan kain-kain batiknya mas Edi. Kini aku memiliki tembok putih yang bisa kutempeli foto-foto keluarga sesukaku. Aku menempelkan foto pernikahan kami sebagai foto yang paling besar di ruangan depan. Kini aku memiliki meja-meja dengan ornamen indah yang bisa kuhiasi dengan melati putih yang penuh cinta. Kini aku punya istana cinta yang dari dulu telah kudamba-dambakan. Setiap pagi aku bisa membetulkan kerah rajaku untuk berangkat kerja, lalu mendapatkan kecupan darinya. Wah, hidup ini memang indah.
Setelah Festival itu pula, nama mas Edi dan batiknya menjadi terkenal. Mas Edi pun kebanjiran order dari beberapa daerah luar kota hingga luar negeri. Hubungan mas Edi pun dengan orang-orang elit tak lagi sebatas penjual dan pembeli tapi lebih sebagai sorang partner kerja. Tak jarang mas Edi mendapat undangan-undangan penting berbagai acara. Hidup ini seakan disulap dalam waktu yang singkat oleh batik.
Sekilas hidup seperti itu memang indah, memang seperti apa yang kukhayalkan. Tapi kerap kali kenyataan tidak seindah khayalan, karena dunia mereka berdua berbeda. Dalam khayalan hanya ada kebahagiaan sedangkan dalam kehidupan nyata kebahagiaan dan penderitaan adalah sepasang kekasih yang tak terpisahkan.
Lalu semenjak festival itu pula, mas Edi menjadi lebih dingin. Dengan akitvitas-aktivitas barunya itu mas Edi menjadi sangat sibuk. Aku menghantarkannya ke depan pintu pagi hari dan membukakan pintu untuknya pada larut malam. Setelah itu dia langsung tidur, tak banyak bercerita dan bercanda lagi seperti dulu. Seharian aku sendirian di rumah besar ini. Makan siang sendirian, dan hidangan makan malam jarang tersentuh karena aku ketiduran menunggu mas Edi pulang untuk makan malam bersamanya.
Aku merindukan kehangatan-kehangatan yang dulu sering ia berikan. Aku rindu tangannya yang suka mencubit hidungku. Aku rindu ceritanya tentang batik. Aku rindu mimpi-mimpinya. Aku rindu kebersamaan kami berdua. Aku jadi teringat Eyang Muti, apakah benar mas Edi adalah daratan itu, Eyang?
“mas, nanti bisa pulang lebih awal gak?”. Kataku sambil membetulkan kerah bajunya.
“kenapa?”.
“Kama kangen ingin makan malam sama mas Edi”.
“aduh, mas sibuk, Ma, hari ini banyak orderan jadi mas harus kerja lembur kalau tidak pelanggan tidak akan percaya lagi dengan rumah batik kita”.
“yah, kalau begitu biar nanti Kama saja yang datang ke sana bawa makan malam”.
“jangan, jangan, kan jauh, kamu mau naik apa nanti? Lagian mas belum tahu apa sempat makan atau tidak, nanti takutnya kamu kecewa, ya sudah, mas berangkat dulu, lain kali kita akan makan di luar saja, bagaimana?”.
“hu um, baiklah”.
Dan mas Edi pun pergi dengan Toyota Accord barunya dan aku sendirian lagi. Kutatap foto pernikahan kami yang raksasa itu. Lalu kutatap tembok-tembok yang kuhiasi dengan foto-foto serta jendela-jendela dengan gorden-gorden, lalu bunga-bunga melati putihku, lalu tembok-tembok putih itu, dan aku menyadari semacam separuh jiwaku benar-benar telah hilang dan lenyap.
Aku memang mendapatkan apa yang aku inginkan selama ini, tapi aku kehilangan sesuatu yang tak akan mungkin kutemukan lagi di dunia ini, mas Edi. Seketika sosok mas Edi terbersit di benakku lalu aku berlari ke ruang depan berharap menemukan mas Edi sedang melukis batik di ruang kerjanya. Tapi yang kutemukan hanyalah tembok-tembok putih tak bermakna. Aku langsung tersimpuh dan meratapi keserakahan jiwa ini yang telah berhasil menipu hidupku.
Aku pun memutuskan untuk menyusul mas Edi ke rumah batik. Aku kangen menemaninya melukis batik lalu menceritakan kepadaku makna-makna batik yang ia lukis. Aku juga menyiapkan sedikit makan malam untuk kami berdua. Aku tidak peduli jika nanti mas Edi tidak punya waktu untuk memakan masakanku yang penting aku bisa melihatnya melukis batik lagi itu sudah cukup.
Malam itu aku pun sampai di rumah batik. Aku bersyukur mobil mas Edi masih bertengger di sana. Aku sangat kangen sekali dengan rumah ini. Dengan senyuman lebar ini aku pun masuk dan menyapa beberapa orang karyawan mas Edi. Tapi mereka menatapku kosong, tanpa arti. Dan aku tidak peduli perihal mereka.
Namun tidak kusangka, mas Edi memberiku kejutan yang tidak kuduga-duga, kejutan yang tidak bisa diterima nalarku, kejutan yang menyesakkan nafasku, kejutan yang memaksa air mataku keluar untuk pertama kali semenjak pernikahan kami empat tahun silam. Aku menemukan suami yang sangat kucintai itu sedang berduaan dengan mantan putri Indonesia di ruang kerjanya.
“maasss!!”. Jeritku dan rantang makan malam kami pun jatuh.
Aku langsung berlari sekencang yang aku bisa dan mas Edi mengejarku. Mas Edi menjerti-jerit memanggil namaku tapi aku mengabaikannya dan membiarkan kaki ini membawaku berlari ke arah yang ia suka. Saat itu aku tidak tahu apa-apa, pikiranku mati, jiwaku mati, perasaanku mati, rasaku mati, yang aku ingat hanya air mataku yang tak berhenti mengalir lalu semuanya berubah menjadi gelap.
***
Ketika mata ini terbuka, aku melihat tembok-tembok putih dan ruangan yang sejuk, lalu tetesan air yang tak berhenti menetes mengalir melalui selang kecil memasuki urat tanganku. Oh, ternyata aku berada di rumah sakit. Apa yang terjadi?
Ternyata malam itu aku tertabrak mobil dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Keadaanku sempat kritis selama dua hari hingga perlahan membaik dan sekarang aku sudah diizinkan pulang.
“maafkan mas, Ma, mas tidak bermaksud menyakiti perasaanmu”.
Aku diam dan buang muka.
“tapi kamu harus tahu satu hal, mas sangat mencintaimu, mas tidak pernah menghianati cinta kita. Malam itu kami hanya ngobrol ringan menunggu pak Tejo membungkus pesanan mantan putri Indonesia itu, itu saja, seharusnya Kama percaya sama mas”.
“bagaimana Kama mau percaya, belakangan ini mas berubah dan Kama selalu sendirian di rumah, Kama sadar, keinginan Kama selama ini untuk punya rumah mewah adalah keserakahan, Kama merasa kesepian di tengah-tengah kemegahan, Kama merindukan batik, ingin melihat mas Edi melukis batik lagi, Kama ingin kita pindah ke rumah batik lagi, mas”. Air mataku mulai bercucuran lagi.
“baiklah, mas rasa itu lebih baik, dengan begitu mas bisa mengawasi keadaanmu tanpa meninggalkan pekerjaan mas”.
Semenjak itu aku dan mas Edi kembali ke rumah batik. Kembali bisa menikmati motif-matif batik setiap hari, yang terpenting aku bisa melihat mas Edi melukis batik setiap hari.
Malam itu keadaanku sudah sangat baik dan mas Edi mangajakku makan malam di luar untuk menepati janjinya. Aku kembali mengenakan batik Truntum itu, ingin mengulangi kembali momen festival batik itu yang rusak karena kehadiran mantan putri Indonesia itu. Aku pun mengenakan kembali batik Truntum merah hati itu.
Sepertinya mas Edi juga ingin mengembalikan momen festival batik yang hilang itu. Ia juga keluar dengan mengenakan batik yang sama saat festival, Parang Rusak Barong. Tapi aku tetap tidak suka dengan motif batik itu.
“ayo kita berangkat”. Ajaknya.
Aku diam memperhatikannya dan berpikir. Lalu menarik tangannya masuk ke dalam kamar. Aku yakin mas Edi pasti bertanya-tanya, tapi aku tidak peduli. Lalu aku membuka batik Parang Rusak Barong itu dari tubuhnya dan memakaiannya batik cokelat bercorak hampir sama dengan bintang-bintang yang dikepung bintang-bintang, batik yang dulu dipakai mas Edi saat kami menikah, Nitik Karawitan.
“kenapa?”.
“karena cinta yang abadi hanya pantas disandingkan dengan kebijaksanaan”. Jawabku tersenyum.
Lalu kami pun pergi menyemayamkan cinta pada malam dalam keabadian dan kebijksanaan.         

Selesai.
Royan, 22 Juli 2013
Abu Dohak.
           

DI BALIK HADIAH ULANG TAHUNKU




Senyum kelabu mentari pagi di hari itu seolah mengobsesikan rasa keterpaksaannya bangkit dari dari persemayamannya, seraya suasana hening menghantui penduduk desa lembah kaki gunung sorik merapi, musibah yang memang tak dianggap jarang kembali menimpa para insan yang mempunyai hati lembut itu, bendera kuning dengan ayunya melambai-lambai di pinggiran jalan menuju gang rumah bu Marni, hanya tetesan air mata serta gerakan lidah seraya berdoa yang bisa dilakukan seorang hamba yang lemah, saat sang yang memiliki ruh itu mengambilnya dari jasad seseorang yang dicinta,
***
Di keheningan malam, terbayang kembali menjengukku, teringat kembali cerita nenek yang tak pernah keriput di ingatanku, tentang sosok laki bertubuh cakap tapi memiliki hati yang lemah, itulah ayahku, kanker hati yang mengindap dalam tubuhnya membuat waktunya menghirup udara bumi cukup singkat, di hari aku diciptakan lahir bersua dengannya di situ pulalah dia menghilang dari persuaan itu.
Ahmad Togar Amir”, tiga kata yang masih berbekas lekat dalam diriku saa-saat mengiringi nafas terakhirnya, sebuah nama yang sangat berkesan dalam hidupku, tersimpan banyak arti serta tapa’ul di balik nama itu, betapa ayahku berharap aku menjadi anak yang berbakti, taat beragama, mendoakan kedua orang tuanya, itulah yang tersimpan di balik awal namaku, Togar Amir fisiknya memperlihatkan khas suku batak mandailingnya, menyimpan arti agar aku kelak menjadi  pemimpin yang kuat jasmani dan rohani yang bisa menuntun keluargaku kejalan yang lurus, setidaknya kekurangan yang terjadi dalam dirinya semoga tidak bersentuhan pada diriku.
Ditengah hiruk-pikuk ekonomi yang memberatkan tanggungan orang tak berada seperti kami, di usiaku yang baru  genap dua tahun, ibuku seorang makhluk yang luar biasa, memilih jalan untuk menjadi TKW di arab Saudi, sebagai jalan untuk mempermudah proses pernafasan kebutuhan kami, sejak dari situ aku dititipkan kepada nenekku yang sudah cukup beruban, tapi senyum keriput dipipinya masih terlihat ceria di setiap sambutan pagiku, di usiaku yang dua tahun itu, ingatanku belum sempat menyimpat seluk-beluk ras wajah ibu, hanya mengandalkan selembar potret pernikahan ayah dan ibu aku merasa kalau keduanya tak kan pernah asing bagiku.
Kasih sayang seorang ibu yang diperantarakan oleh nenek, wanita paling bijaksana dalam hidupku, menumbuhkan aku menjadi orang yang merasa paling beruntung dalam hidup ini, setitik pun rasa mengeluh tak pernah mampir di pikiranku saat aku melihat canda senyum keluarga lengkap teman-temanku, aku merasa canda itu selalu ada dalam diriku, meski jasad kedua orang tuaku terlampaui jarak batas yang jauh dari badanku, tapi aku merasa kalau mereka dekat di sisiku.
***
Secerah apapun hari itu, pasti ada secercah awan yang menaungi sehingga kelabu kadang mewarnai keindahan cerahnya, suasana itupun terjadi ketika butir-butir ejekan teman-temanku saat bu guru menyinggung hari ibu di kelas singgah di daun telingaku.
“Bu, bagaimana togar merayakan hari ibunya sedangkan dia sendiri tidak mengenal ibunya?,,, hahahaha”. Sorakan tawa itu seolah menembus jantungku yang hampir copot dari peganganannya.
Sehabis sholat magrib berjama’ah di rumah, yang diimami oleh nenekku, mengingat diriku belum bisa berdiri di depan,  aku rebahkan kepalaku di pangkuan nenek yang mulai terasa rapuh, aku tumpahkan keluh kesah yang terhimpun di pikiranku, ejekan teman-teman yang menerobos hatiku di kelas tadi, seraya air mata menembus bendungan yang sudah tak kuat lagi menahan arus derasnya.
“nek,,,sebenarnya ibu dimana?,, kenapa bertahun-tahun dia belum pulang?”, tanyaku kepada nenek sambil diiringi gerimis rengekku.
“ibumu ada disana, di arah dimana kamu menghadap di waktu sholat, dia akan pulang membawa segudang cinta yang ia simpan selama ini untukmu,” dengan berusaha tegar nenek menunjuk kearah dimana sajadah yang masih terhampar di dudukan kami, yang juga menghadap kearah itu. Dari sikap ketidak perduliannya terhadap tangisku, aku menangkap pelajaran ketegaran dari dalam dirinya.
Kubuka jendela rumah yang mulai reot itu, kupandang kearah dimana qiblat dan ibuku berada, yang terpapang di mataku hanya hamparan tinggi gunung sorik merapi, dengan rasa kepercaya diriannya kokoh memaku bumi ciptaan sang penguasa. Dari ketinggiannya aku bisa membayangkan bahwa ibuku adalah sosok makhluk wanita yang luar biasa, hingga bisa melewati setinggi gunungpun untuk memperjuangkan hidup kami.
Sejauh ini aku dan nenek hanya bergantung pada gaji yang dikirim ibuku setiap perbulannnya, tak ada yang bisa kami lakukan didesa terpencil seperti ini, nenek yang sudah renta sudah tak kuat lagi memikul punggungnya kesawah, sedangkan anak kecil seperti aku belum tahu menahu tentang mencari makan, uang kiriman ibu lumayan cukup buat keperluanku dan nenek setiap hari, ditambah dengan hadiah ulang tahunku dari ibu setiap tahunnya, meskipun isinya hanya selembar kertas bergores selamat ulang tahun, serta dua buah kain sajadah berukuran kecil dan besar buat aku dan nenek, itu merupakan hadiah paling berharga yang kumiliki, dari situlah aku meraskan keberadaan ibu dan masih sayang padaku.
Tapi yang mengubah warna lamunanku menjadi samar saat jelajahannya tiba di alam masaku, semenjak tiga bulan terakhir ini kabar tentang ibu hilang terabaikan media, suasana suram itu pun mencemari udara yang kuhirup menjadi seolah kurang enak hingga membawaku terlarut dalam dunia-dunia ketermanguan, tangan nenek yang lemah, tulang yang mulai rapuh yang diselimuti kulit keriput seribu terpaksa menggerakkan kekuatan seadanya untuk memikul beban kebutuhan kami sehari-hari, menjual kue lopek maga khas mandailing dengan tampilan seadanya yang dibuat dengan tangan seadanya di sekolah sudah menjadi sampingan belajarku, hasilnya memang seadanya dan bahkan buat makan kami sehari-hari kadang tidak cukup.
Aku mencoba mengayunkan jariku untuk menulis surat yang kukirimkan melalui jama’ah haji yang berangkat tahun ini, sepuluh tahun sudah berlalu ibu di perantauan, aku merasa waktu itu sudah cukup lama dan aku berharap ibu akan pulang. Tak lupa juga aku sisipkan selembar ulos yang dikenakan ibu di hari pernikahannya, aku selalu menyimpannya di lemari dan kubawa tidur saat aku rindu kepada ibu. kata nenek kain ulos ini sebuah simbol suku batak yang mensabdakan semua penduduknya untuk mengingat kampung halamannya, aku sangat berharap kain ini sampai di tangan ibu dan bisa mengerti maksudku.
Kabar burung yang menyerang media bercerita tentang penganiayaan TKW di arab Saudi menghantui alam kelabuku, terlebih saat berita itu memperlihatkan faktanya, terbukti saat seorang warga desa kampung seberang yang baru pulang dari perantauannya dinegara kelahiran nabi, tiba dengan sosok yang mengagungkan, diantar dengan mobil berlampu disko di atapnya, disambut keramaian orang turut menyandang singgasana peristirahatannya, berupa peti persegi empat yang berisi jenazah sang insan mulia, sebagai salah seorang korban penganiayaan tuannya.
pandangan setiap orang saat aku menelusuri jalan menuju sekolah seakan tertuju padaku, pandangan iba atas nasib batang kara yang bertandang dalam tubuhku, bagi mereka hilangnya kabar tentang ibuku seraya memberi isyarat bahwa akulah sebatang kara. Aku sendiri bertanya-tanya apa aku memang ditakdirkan untuk tidak akan sempat bertatapan mata dengan sang ibu. Hampir setiap hari kakiku menginjak rumah pak RT menanyakan barangkali ibu pernah menghubunginya melalului telepon, mengingat hanya pak pak RT-lah satu-satunya yang mempunyai pesawat telepon di desa kami.
“belum ada gar, sabar saja dulu mungkin ibumu lagi sibuk haji, makanya tak beri kabar”, sambil tangannnya mengusap kepalaku pak RT berusaha menegarkanku.
Begitu juga nenek yang juga tak bosan-bosannya menyuruhku selalu mendoakan ibu di setiap selesai sholat.
“Barangkali ibumu lagi sibuk mengumpulin ongkos pulang menjengukmu,” ujar nenek saat aku mengeluh kenapa ibu tak pernah kirim uang lagi.
Liburan sekolah kali ini, nenek mengajakku menjenguk makam ayah yang tidak jauh dari desa kami, hampir setiap minggu aku berpapasan dengan batu nisan di depanku, sambil merebahkan kepalaku di pangkuan nenek yang menuturkan bacaan surat yasin, surat yang tidak jarang lagi di telingaku, bahkan setiap malam jum’at gubuk reot kami dipenuhi lantunan surat itu, aku memandangi ukiran sejarah tersingkat berupa nama, tanggal lahir, dan diakhiri dengan tanggal wafat, yang tertulis di batu nisan itu.
Sehabis lantunan nada surat yasin mereda, aku mencoba mengajak bebatuan yang menyelimuti jasad ayah untuk berbagi cerita.
“ayah, aku datang menjenguk persemayamanmu, di pertengahan jalanku, ketegaran yang kau gambarkan dalam diriku terasa mulai pudar, nama yang kau topangkan ketubuhku mulai meleleh berjatuhan, aku tak tahu kemana kusandarkan diriku yang melemah ini, kenapa kau begitu cepat hilang dari dekapku, belum lagi ibu yang tidak pernah lagi beri kabar. Ayah, aku merasa sangat kesepian saat ini”, Rengekku di samping nisan ayah membanjiri bebatuan yang mendiamiku.
Aku tak merasakan adanya jawaban dari makhluk yang sudah lama bertapa di kediamannya, batu nisan yang kupandangi hanya diam cemberut dengan wajah lusuhnya dilumuri abu, hanya keheningan yang kurasakan, serta curahan air mata nenek yang menghujani pipiku membuatku terbangun dari bebatuan itu, menghadap dekapan hangat pelukannya yang juga tidak kuat lagi menahan suasana mendung yang juga terjadi pada dirinya. Aku mulai berontak meronta-ronta, marah kenapa keluhanku sunyi dari sahutan ayah, tapi dekapan kasih sayang nenek cukup kuat menahan tingkahku.
***
Hari ini hari ulang tahunku, tanpa ada kado dari ibu berupa penyokong semangatku. aku tidak melaksanakan tugasku sehari-hari kerumah pak RT lagi, tak tahu kenapa di persimpangan jalan rasa kesal dan sedikit putus asa menghalangi langkahku menuju rumahnya. Aku lebih terpesona dengan ajakan teman-temanku bermain bola di sebuah lapangan dekat kaki gunung.
“Trringg,, trriinggg,,trringg,,trrring”, suara telepon berbunyi menandakan seorang insan yang dengan harapan kirannya  seruannya ada yang menyahut.
“assalamu’alaikum,,,apa benar ini dengan pak Rusdy di kelurahan Rajo kecamatan lembah sorik marapi, mandailing natal?”, dari gagang telepon itu terdengar pertanyaan yang dilemparkan kepada pak RT.
“ya, ini dengan saya sendiri, ada yang bisa dibantu?”.
“ya, ini kami dari kantor jasa pengiriman barang pak, kami menerima barang dari arab saudi mau dikirimkan ke alamat didesa kelurahan bapak untuk ibu Marni selaku warga disitu, berupa kotak persegi empat, yang seharusnya tiba di alamat hari ini, apa kirimannya sudah sampai pak?”, jawabnya dengan jelas yang menurut pak Rusdy tak ada yang perlu diulang lagi dan langsung menutup teleponnya.
“astaghfirulloh,,,inna lillahi wainna ilaihi roji’un”, Mendengar kata-kata kotak persegi empat itu, sepontan tangkapan pak Rusdy tertuju pada misteri yang menghantui warga kampungku. Kebenaran Misteri yang setiap hari kupertanyakan padanya.
Bersama dengan kesedihan  pak Rusdy, berita itu pun menginap di daun telinga nenek, pertahanan jantungnya terasa mulai goyah, reotan gubuk terasa membawanya roboh, kakinya yang lemah tak kuasa lagi berpijak kuat, tak sadar kalau badannya tergopoh jatuh kehamparan tikarnya.
Berbeda denganku yang masih memandangi pesona keegoan alam, hingga terik mentarilah yang mau mendekati ubun-ubun membawaku beranjak menuju pulang, di kejauhan aku melihat penduduk berbondong-bondong menuju arah gang rumah nenekku, ditambah dengan lambaian barisan bendera kuning di tepi jalan.
Setiba dirumah aku menemukan nenek tergeletak menangis di tempat tidurnya, dengan kumpulan banyak orang yang mengiangkan isi rumah dengan alunan bacaan surat yasin.
“seorang Togar harus tegar, doakan ibumu biar bersama ayahmu disyurga”. Sambil membagi berita misterius itu, pak RT mendekap dan mencoba mengkuatkanku. Badanku terasa betul-betul lemah, nama togar dalam diriku sudah terbang jauh, gunung sorik marapi seolah pecah berkeping-keping. Kali ini dekapan pak RT tak bisa membendung rontaku dibarengi dengan parau tangisku yang nyaring keluar. Iringan Tangisan warga seolah sedikit menunjang berontakku, membawaku jatuh tersungkur seperti orang kesurupan.
“Tuhan,,, sudah lengkap derita dalam diriku, aku ikhlas atas kekurangan kasih ayah yang kau timpakan padaku, tapi kasih ibu yang kurindu juga ternyata tak kau jamahkan padaku, lelah sudah aku menghadapi ujian ini, aku tak tahu masihkah ketegaran akan menopang didiri ini, setelah kedua sayapnya lumpuh tak berdaya.”
Aku terpenjara dalam bui penderitaanku, aku hanya berteman dengan lembaran-lembaran kain ulos yang dikenakan para pelayat, corak warnanya yang begitu mencolok, serta manik-manik yang bergantungan melambai-lambai tak bisa lagi menghibur sedihku, dominasi warna hitam, merah, putih, dan tenunan dari berbagai benang warna emas tak bisa lagi menjadi teman dukaku,  hanya getaran doa serta  bacaan alqur’an yang menggema suasana piluku.
Dikeheningan menunggu jenazah ibu, tiba-tiba sebuah mobil truk cold diesel berspanduk jasa pengiriman dor to dor merapat kearah rumah duka, seorang pria bepakaian rapi dengan seragamnya keluar, dan membuka bak mobilnya, seraya membawa kotak persegi empat seukuran kardus mi instant menuju rumahku, setelah pak RT menanda tangani kertas yang dibawa pria itu, dengan buru-burunya dia beranjak menginjak gas mobilnya tanpa seribu kata.
“mobil ambulannya dimana ya?”
“peti jenazahnya dimana?”
Seribu pertanyaan menghampiri segenap penduduk warga.
Dikepala kardus itu tertulis nama nenek dengan alamat lengkapnya. Dengan tangan gemetar aku mencoba membukanya, isinya hanya sepucuk surat ditambah dua kitab alqur’an cetakan arab Saudi. Ukiran tinta disampul surat itu tak asing lagi bagiku, dari ibu untukku. Aku mencoba membacanya dengan suara serak di depan banyak warga, barangkali itu wasiat terakhir dari ibu.
“kepada Togar anakku tersayang di kelelahan penungguan, dari ibumu yang merindukanmu
Sebelumnya ibu minta maaf tidak beri kabar dan mengirim belanja. Kesibukan ibu mengumpulkan ongkos mungkin membuat Togar gelisah. Diulang tahun kesepuluhmu ini ibu mengirim mushaf qur’an sebagai hadiah dan tandanya Togar sudah bisa baca qur’an, setelah menunaikan ibadah haji, bulan depan ibu akan pulang kerumah. Rajin belajar ya, turuti apa kata nenek.
Dari Masriani, ibumu”.
Isi surat serta permintaan maaf dari pak RT atas kesalah pahaman berita ini, menjadi jawaban dari gumpulan tanda tannya yang meghening dikepala warga.
Bubaran warga seraya dengan kembalinya senyum cerah pemandangan gunung sorik marapi, membekaskan kasih sayang tuhan masih bisa kunikmati melalui dekapan hangat ibuku.


Amar Al-Hasby

TETAP BERWARNA





            Nyanyian burung ceumpala kuneng memecahkan kesunyian desa kami. Desa kecil yang jauh dari bisingan kota. Tidak ada satupun kendaraan yang terdengar nganguannya di pagi hari. Hanya suara burung dan suara ombak yang berlarian di tepi pantai yang tak jauh dari rumahku. Hembusan angin laut menembus celah-celah kamar tidurku yang berdinding kayu lapuk. Buwaian angin bak magnet yang selalu menarik hidupku untuk tetap terlarut dalam keindahan mimpi. Di kamar ini  kuwarnai mimpi tidur dengan saudara kandungkungku sendiri, namanya Azrakil Akram. dia kupanggil aduen karena umurnya lebih tua satu tahun dariku.
            Pagi ini tidak seperti pagi biasanya bagi kami berdua. Yang mana pagi-pagi biasanya harus ibu bangunin hingga beberapa kali. Tidak hari ini, hari ini kami bangun sendiri, begitupun seminggu yang lalu. Tepatnya, setiap pagi minggu tidak ada yang harus bangunin kami. Kenapa tidak? karena hari ini, hri libur, hari yang terlepas dari  pelajaran sekolah. Meskipun libur bukan berarti tidak ada kegiatan bagi kami. Banyak permainan yang telah kami jadwalkan bersama teman-teman untuk hari ini.
***
            Di atas meja kayu yang tidak diwarnai cat telah tersedia teh yang ditemani timphan, keduanya masih menampug uap hangat. Hidangan rutinitas yang selalu disediakan ibu untuk sarapan kami sekeluarga.
            “lihat! Kalau hari minggu, tidak  ada yang harus dibangunin” kata ibu dengan suara yang teduh sambil melihat dua buah hatinya yang baru bangun dari hanyutan mimpi. Kami hanya tersenyum malu mendangar ucapan ibu, kerana memang begitu kelakuan kami setiap hari yang selalu harus dibangunin kecuali hari minggu.
            “hari ini kalian mau kenama?” tanya ibu yang sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan dapur.
            “kami mau main bola bu, di lapangan dekat sekolah” jawab abangku sambil melepaskan daun pisang yang membungkus timphan. Pagi ini ibu membuat timphan asoe kaya, timphan yang paling enak rasanya.
            “ayah mana bu?” tanyaku dengan nada serak yang tidak diragukan lagi kalau  baru bangun dari tidur.
            “habis subuh tadi, ayahmu langsung kekebun. Kan hari ini ayah mau menjenguk nenek yang lagi sakit di Tiro.” jawab ibu dengan penuh semangat yang diakhiri dengan rawut muka yang sedih  mangingat nenek sedang sakit.
            “ayah kerumah nenek dengan aku kan bu?” sambungku dengan suara yang sedikit keras untuk memecahkan keheningan yang tadinya terdiam sesaat.
            “ya, makanya habis main bola langsung pulang kerumah!” desak ibu yang tak mungkin kuabaikan pintaannya.
            “kami pergi dulu ya bu,” pamit abangku sambil bangun dari kursinya.
            “Jaga adikmu baik-baik ya Rakil, meskipun kalian satu kelas, faril tetap adikmu yang masih kecil yang harus kamu jaga,” pinta ibu kepada anak sulungnya dengan penuh harap.
            “pasti bu, kalau si Faril bendel pasti dia akan kupukul.” jawab abangku sambil ketawa kecil.
            Aku dan abangku duduk di bangku kelas 3 Madrasah Ibtidaiyah (MI). Sekolah Dasar yang berasas keagamaan. Benar kata ibu, meskipun kami satu kelas, aku jelas lebih kecil dari abangku, dari usiaku dan juga postur tubuh pasti aku kelihatan lebih kecil kalau dibandingkan dengan abangku. Ketika abang masuk kelas satu dulu, aku ingin juga sekolah bersamanya, karena aku tidak betah tinggal dirumah sendirian. Meskipun ada sedikit permasalahan karena umurku belum cukup untuk masuk Sekolah Dasar, akhirnya keinginanku terpenuhi juga setelah beberapa kali ayah ke kantor kepala sekolah untuk mengurusnya.
***
Dua anak kecil berkulit kuning langsat keluar dari rumah berdinding kayu beratap daun rumbia. Sambil bercanda tawa dua anak kecil yang mengenakan celana pendek memulai langkah mereka. Deretan pohon kelapa dan nyinyurnya yang melambai-lambai menyapa pagi mereka. Pepohonan kecil yang tertata rapi dipinggir pagar bambu juga ikut menyambut langkah mereka.
            Sekitar 15 menit kami tiba di lapangan bola. Lapangan kecil yang tidak terlihat satupun rumput diatasnya. Seisi lapangan dipenuhi pasir kering nan tandus. Gawang yang kami dirikan dengan bambu kering kecoklatan. Begitulah lukisan lapangan bola kami.
Pertandingan bola akan segera kami mulai. Baru beberapa menit bermain, kepalaku terasa pusing. Rasa pusing dalam tiba-tiba yang belum pernah aku alami sebelumnya. Semua teman terdiam, tak seorangpun yang bersuara. Suasana menjadi tegang bak ruwangan pengadilan yang sedang menunggu keputusan hakim untuk terdakwa. Dalam diam kusadari, bahwa ini bukanlah pusing karena kepalaku yang sakit. Melainkan bumi yang bergoyang  tanpa musik.
“gempaaa.....” teriak temanku rajul begitu keres dengan nada ketakutan.
“Laa...Ilaa haillallaah..... Laa...Ilaa haillallaah.....” kami melafadhkannya bersamaan dengan serentak. Semakin lama goncangan gempa semakin kuat dan cepat. Tubuhku yang  kecil gemetar menggigil dalam pelukan abang. Dia berbisik kepadaku “jangan takut faril, sebentar lagi gempanya akan segera berhenti”. Aku tahu, kalau dia menutupi ketakutan dan menahan air matanya supaya tidak menetes  keluar. Sedangkan aku, aku tidak bisa membendung air mata yang keluar begitu deras, bagaikan hujan yang turun  diakhir tahun.
Gempa belum juga berhenti. Semua pepohonan yang tadinya duduk tenang sekarang menari girang. Semua orang keluar dari rumahnya dengan melafadhkan “Laa...Ilahaillallaah..... Allaahu Akbaar....” Semua penduduk di diselimuti rasa takut. Tidak ada seorangpun yang bisa menutupi rasa takut yang begitu berat membelenggu jiwa mereka. aku hanya terdiam tanpa mengucap apa-apa. Yang aku pikirkan hanya ayah dan ibu di rumah. “Apakah aku bisa melihat lagi mereka? Apakah kami akan hidup lagi bersama? Mungkinkah hari ini kiamat akan tiba?” tanyaku dalam hati.
“ayo dek, kita pulang kerumah sekarang!” seru abangku dengan suara lantang disertai linangan air mata yang tidak bisa dia bendungi. Dengan tertatih-tatih kami berlari menuju gebuk istana. Tangan kananku yang ditarik abang mempercepat langkahku. Dan sesekali terjatuh karena gempa belum juga reda. Jarak rumah seakan menjauh hari ini, tak seperti biasanya. Aku tidak sabar lagi untuk langsung tiba dirumah dan memeluk ayah dan ibu.
Dari jarak jauh terlihat dua orang yang berlari menuju arah kami, nampak lelaki setengah baya berkemeja kotak-kotak yang warna aslinya sudah pudar dan di belakangnya terlihat seorang ibu berdaster biru. Mereka tidak asing bagi kami. Iya, mereka adalah orang tua yang sedang mencari dua penyejuk hati. Rasa takut di hatiku mulai memudar ketika melihat ayah dan ibu mencari kami. Aku pun mempercepat lari. Bagaikan seorang anak yang baru pulang dari rantowan, begitulah rasa rinduku kepada dua orang tua saat ini, meskipun baru sesaat jauh dari pandangan mareka.
Bumi sudah bergowang beberapa menit, tapi belum juga berhenti. sekarang gerakannya sudah sedikit melambat.
“kalian baik-baik saja kan nak?” tanya ayah sambil memeluk dua anak kecilnya dengan mata yang berkaca-kaca. tidak satupun kata yang keluar dari mulut kami untuk menjawab pertanyaan ayah. Mulut terasa kaku untuk menjawabnya. Hanya isak tangis yang terdengar dengan tubuh yang terseduh-seduh penuh gemetar. Sebelum ayah melepaskan pelukannya, ibu pun memeluk kami yang tibanya sedikit lambat dibelakang ayah. Rasa haru bahagia tidak bisa kuucapkan dengan kata-kata saat terbuwai dalam pelukan keluarga. Pelukan kasih keluarga yang tadi saat gempa kukira tak lagi ada, tapi sekarang aku dalam pelukan mereka.
 Dengan suara yang terseduh-seduh aku berkata “a...ayaah, i...ibuu  faril sayang kalian, faril tidak ingin jauh lagi dari ayah dan ibu,”
“a...apakah ha..harii ini akan kiamat.” tanya abangku dengan suara yang terbata-bata. Orang tuaku juga tidak menjawabnya, mereka hanya memeluk kami lebih erat.
Kini gempa telah berhenti, bagaikan air yang membeku tak lagi mengalir. Bagaikan penari yang terdiam kehabisan musik. Rasa pusing belum menghilang dari kepalaku karena gempa tadi yang sangat kencang. Tiba-tiba air laut surut menghilang tak tau mengapa. Surut hingga bebera meter tak tau entah kemana. Banyak ikan-ikan yang berlompatan di tepi pantai yang sebelumnya dipenuhi air biru berbuih ombak.
Suasana yang sudah mulai tenang, kini kembali kocar-kacir dengan teriakan histeris semua orang yang berlarian. Kami masih dalam satu pelukan.
“Banjiiiiir...rrr...” suara teriakan begitu keras yang menusuk kedua telingaku. Semua orang lari menyelamatkan diri. Kami sekeluarga masih tenang tanpa bergeser sama sekali. Kulihat ombak kehitaman yang tingginya melebihi pohon kelapa yang ada disamping kami, siap menerjang seisi desa.  Dengan kecepatan kilat kami sekeluarga dibawa hantamannya. Pelukan ayah dan ibu yang begitu erat dilepaskan ombak yang derasnya lebih kuat. Kini diriku hanya bertahan dalam pelukan abang. Dalam gulungan air hitam pikiranku melayang entah kemana. “Apakah hari ini benar-benar dunia akan berhenti? Benarkah Malaikat Isra-il akan meniup sangkal kala hari ini? hanya sebentar inikah hidupku didunia ini?” Beribu pertanyaan muncul dari benakku.
 Kini terbayang semua kisah hidupku, saat bersama keluarga tercinta abang, ibu dan ayah. Senyuman abang, ibu dan ayah terlukis semuanya. Kehidupan kami penuh canda dan tawa, kehidupan yang sederhana tapi sangat bahagia. Saat bersama teman sekolah yang selalu membuatku tertawa, semuanya terbayang dengan sendirinya. Penglihatanku kini mulai gelap hingga hitam kelam.

***

Setalah tiga hari tidak sadar diri, hari ini kubuka mata kembali. Kulihat ruangan yang kutempati berdinding tembok warna putih, sangat jauh perbedaan dengan dinding rumahku. Kulihat botol plastik tergantung yang menetesi air melalui selang putih menuju urat nadi kiriku. Di samping kanan kulihat tabung gas warna biru. Dan di sampingku ada seorang bapak yang kelihatannya masih muda. Orang itu  berkemeja hitam dan kepalanya merunduk kekasur yang kutempati. Ingin ku bersuara tapi terasa berat untuk mengeluarkannya. Rasa haus juga sangat terasa. Kemuadian orang itu bangun dan melihatku sudah membuka mata. Dia langsung memelukku dengan air mata. Tapi aku belum tau siapa dia.
“Asfaril ini aku pamanmu, paman fadli, adik ibumu yang tinggal di Malaysia.” Tentu saja aku tidak mengenalnya, kata ibu paman ke Malaysia waktu umurku satu tahun dan tidak penah pulang ke Aceh.
Mulutku berusaha mengeluarkan kata untuk bertanya “ a..ayah i..ibu dan a..abang dimana...?” paman fadli Cuma diam dengan linangan air mata. Aku pun kembali menangis, karena kutau jawaban itu tidak mungkin untuk dijawab.
Minggu depan aku sudah diizinkan untuk pulang. Tapi aku tidak tau, kalau aku akan pulang kemana, yang aku ingat semua desaku dibawa banjir. Paman membawaku kerumah nenek yang di Tiro. Desa di bawah kaki gunung yang jalannya harus mendaki bukit yang dinamakan glee siblah. Cuaca disana sangat sejuk dan tentram. desa yang melahirkan pahlawan kita yaitu Teukeu Syiek Ditiro.
Kini hidupku tidak lagi berwarna, seakan jiwaku mati tidak berdaya. Hanya bayang-bayangan itu yang melintas di mata. Sebulan sudah kutinggal di rumah nenek. kemudian paman membawaku bersamanya untuk tinggal di Malaysia. Pamanku sekarang sudah menjadi warga malaysia. beliau sudah menikah disana, tapi sayang, sudah beberapa tahun bekeluarga  belum juga dikaruniai anak. Kini aku akan hidup menjadi anaknya di negri tetangga.
***
Hari terus berganti hari, kerana bumi masih berputar belum berhenti.  Sekarang aku duduk di kelas satu sekolah menengah. Aku belajar di sekolah ternama di Malaysia, Sekolah Menengah Kebangsaan (SMK) Valdor. Aku bisa sekolah di SMK Valdor  kerena paman kusendiri yang sekarang kupanggil ayah. Beliau adalah guru kesenian di sekolah ini. Ribuan pelajar yang belajar disini, terutama mereka yang berpendapatan tinggi. Tidak semua orang bisa sekolah di SMK Valdor, apalagi bukan penduduk asli Malaysia.
            Di Valdor sangat berbeda dengan sekolah tempat belajarku sebelum ke sini. Dulu aku belajar di sekolah yang disediakan khusus untuk anak TKI. Semua pelajarnya anak-anak dari indonesia, mereka anak-anak yang orang tuanya bekerja di sini.
Di Valdor hanya 11 pelajar yang berasal dari Indonesia, yang satu cewek yang lain cowok semua. Karena jumlah kami yang sedikit, banyak ejekan yang delemparkan bagi kami. Tapi tidak semua mereka tidak suka kepada kami, hanya beberapa orang saja. Mungkin mereka tidak suka anak indonesia belajar dinegerinya. Apalagi saya yang dari Aceh, mereka selalu mengejekku dengan kata Tsunami, bencana yang menelan seisi desaku kini menjadi bahan ejekan mereka untukku. Yang paling sering menumpahkan kata-kata ejakan namanya Amzah Hasan dan dua temannya Adrian dan Husnan. Baik di kelas maupun kanti hobi mereka Cuma menjelekan orang. Bukan Cuma aku, yang lain juga menjadi bahan ejekan mereka.
            “katanya Aceh serambi Mekkah tapi kenapa di serambi mekah terjadi Tsunami yang mengerikan,? serambi ma’siat kali” kata-kata yang berulang kali mereka ucapkan di hadapanku. Tidak ada hari yang sunyi dari ejekan. Aku hanya diam tidak menghiraukan, karena akau tau kalau aku menumpang untuk belajar di negeri mereka. Meskipu hanya diam tapi hati sakit teriris tidak bisa kutahan. Ingin rasanya membalas kata-kata mereka.
            “tak usah dengar ucapan mereka, biarkan saja mereka berkata” ujar temanku hussien dengan gaya bahasa yang lucu. Aku sering tertawa mendengarnya berbicara karena dia untuk berbicara seperti gaya bahasa orang indonesia, yang jadi Cuma lucu bila kita mendengarnya. Katika aku lagi sedih Husseinlah yang mengajak aku untuk tertawa. Dia adalah teman tempat aku bercerita. Kalau tidak ada dia mungkin aku tidak betah tinggal di Valdor. Kami sering berbagi cerita, dia sangat terharu dan ketika mendengar cerita Tsunami.
            Hariterus berputar menjadi malam. malam ini  tidurku diwarnai mimpi yang begitu indah, mimpi bertemu ibu. Kulihat ibu berdiri memakai baju warnar putih, aku mendekat dan memeluknya dengan erat.
 “ibu jangan tinggali aku lagi” pintaku pada ibu. Ibu tersenyum sambil menghapus air mata yang ada di pipiku. Beliau berpesan supaya aku selalu giat dalam belajar dan ibu juga menjawab pertanyaan yang belakangan ini membuatku gundah. Aku hanya terdiam dalam pelukan sambil mendengar kata-katanya hingga air mata membangunkanku dari mimpi. setelah shalat tahajut kutulis sebuah puisi, puisi dari kata-kata ibu yang yang tadi bertemu di dalam mimpi. dan besok pusisi ini akan kutempel di mading sekolah.

Mengapa ...?
Mengapa negeriku diterjang musibah?
Kenapa bukan negerinya yang ma’siat lebih parah?
Mengapa negeriku ditimpa musibah?
Bukankah negriku serambi Mekkah?
Tapi mengapa ...?
Apakah negeriku tak layak untuk dicinta
Seperti kata mereka?
Hingga Tsunami jadi cerita
Kenapa dan mengapa...?
 pertanyaan bodoh yang pernah menyesak jiwaku
Kini hal bodoh itu lenyaplah sudah
Setalah fakta menjawabnya dengan nyata
Tak mungkin akan kucuci kandang yang kotor
Karena kandang memang layak untuk kotor
Tapi...
Ku kan segera membersih mesjid
Meski hanya setitik najis
yang bersih ku kan membersih
 jika ada sedikit kotor
yang kotor ku biarkan kotor
meskipun ia bertambah kotor
kerena memang tempat untuk berkotor
kau tetap berwarna
meski bencana telah menimpa
kau tetap berwarna
meski musibah datang menerpa
Kini kuragu dan jadi bertanya
mengapa di  negrinya tak pernah ada?
Yang tertawa bukan berati senang
yang menangis bukan berarti sedih

By : Asfaril Akram

            Keesokan harinya suasana kelas menjadi tenang, semua teman kelihatan dingin tanpa candaan. Karena puisiku yang di mading itu ada teman yang senang dan ada juga yang hanya diam. Amzah Hasan dan temannya tidak girang seperti biasanya. Mereka merasa bersalah dan meminta ma’af karena pernah mengejekku. Dan kini mereka menjadi teman baikku di SMK Valdor.


Ezi Azwar, 11 November­,Tareem_Yemen