Kata eyang Muti, aku adalah seorang wanita pecinta yang penuh
dengan kasih sayang, makanya aku diberi nama Kama yang dalam bahasa Sansekerta
berarti cinta. Semenjak kecil aku sudah terbiasa tersenyum menyebarkan cinta
untuk orang-orang di sekelilingku.
Kata Eyang, cinta adalah kekuatan terbesar yang dimiliki oleh
manusia. Seperti kedua orang tuaku yang berhasil bertahan selama 20 tahun tanpa
seorang anak karena kekuatan cinta. Makanya kelahiranku membawa setitik masa
depan bagi keluarga, seperti setitik malam dari cucuk ujung canting.
Kata Eyang, cinta itu seperti perahu di lautan. Suatu hari nanti
perahu itu pasti akan menepi ke darat. Tapi tidak semua daratan cocok untuk
cinta. Karena cinta yang abadi hanya pantas untuk daratan yang tak
bertangkahan.
Eyang Muti, aku merindukannya. Jiwa ini terasa gersang tanpa nasehat-nasehatnya, tanpa
semangatnya. Seandainya Eyang Muti masih hidup ketika aku menikah lima tahun
yang lalu, mungkin Eyang Muti bisa memberi tahuku apakah mas Edi adalah daratan
tak bertangkahan itu.
Kutaruh foto Eyang Muti tersenyum manis itu di atas mebel samping
tempat tidurku. Khayalku ingin mengajakku kembali puluhan tahun silam, ketika
Eyang Muti masih bernyawa, lalu aku akan bertanya :
“eyang, kenapa sampai sekarang Kama masih belum dikaruniai anak?”.
Eyang, aku mecintaimu.
Lalu pintu jati cokelat itu berderet, terlihat mas Edi sambil
membuka kopiah hitamnya mucul dari balik pintu itu, lalu meletakkannya di atas
meja hiasku dan duduk di sampingku. Guratan mukanya melukiskan kelelahan tak
berkesudahan.
“apa yang mas pikirkan?”. Tanyaku sambil menyentuh punggungnya.
Kelihatannya mas Edi sedang memikirkan sesuatu hingga tidak langsung merespon
pertanyaanku. Aku hanya tersenyum, mencoba untuk mengerti berat beban
pikirannya.
“mas?”. Kataku lembut sambil membetulkan bantalku untuk duduk
bersender.
“iya?”.
“apa yang terjadi? Pelanggan sepi? Atau ada pelanggan yang
protes?”.
“ah, tidak. Mas hanya berpikir tentang festival batik bulan depan”.
“kenapa? Setiap tahun kan kita ikut memeriahkannya”.
“tadi siang bapak walikota menelpon langsung ke mas, dia bilang
tender batik festival itu diserahkan kepada kita”.
“ha? Acara tahunan yang gempar itu dipasrahkan pada kita?”. Aku
takjub mendengarnya, sedikit tak percaya tapi hati kecilku sudah lebih dulu bersujud
syukur.
“iya, mas sendiri masih ragu, apa masmu ini mampu? Mereka ingin
batik dengan jumlah yang sangat banyak, sementara tenaga di sini kan sangat
terbatas. Mas sudah tolak, tapi pak walikota tetap saja memaksa”.
“kita kan bisa beli mesin cetaknya mas?”.
“kamu ini, rumah batik ini terkenal dengan batik tulisnya, tapi,
sepertinya usul kamu itu akan menjadi satu-satunya solusi, mas akan merasa
sangat bersalah sekali kepada leluhur-leluhur mas”.
“mas, tidak perlu berkecil hati, ini kesempatan mas untuk bangkit,
untuk lebih memperkenalkan batik kita pada masyarakat. Lagi pula, Kama sudah
bosan tinggal seatap dengan gudang batik, di mana-mana ada batik, bahkan kamar
kita yang kecil seperti ini saja masih disesaki sama batik-batiknya mas, terus
bau tinta malam itu yang terkadang membuat Kama pusing. Kama ingin kita pindah
rumah dan rumah ini kita manfaatkan untuk pembuatan batik aja mas”.
“iya, mas tahu, kamu sudah mengatakan ini lebih dari seratus kali”.
Kata mas Edi sambil mencubit hidungku. Mas Edi membetulkan bantalnya dan
membujurkan tubuhnya di sampingku.
“kamu doakan saja, semoga amanah ini bisa mas jalankan dengan
baik, setelah itu kita bisa ngontrak rumah baru”. Lanjutnya, dan matanya pun terpejam.
Aku menatapnya lembut, mas Edi memang suami yang baik. Semenjak
kami menikah hingga sekarang mas Edi tidak pernah berkata kasar padaku apalagi
membentakku. Dia juga tidak pernah menyinggung kenapa hingga sekarang kami
belum dikaruniai anak apalagi berpikir untuk selingkuh yang meski seandainya ia
menikah lagi pun aku tidak berhak menghalanginya. Semoga cinta abadi kami
dipertemukan dalam kesetiaan.
Mas Edi juga tidak pernah mengeluh tentang penghasilannya sebagai
seorang pembuat batik. Semuanya ia jalani dengan tabah dan ikhlas. Dan setiap
apa yang aku minta pasti selalu dipenuhi. Aku yakin, seandainya eyang Muti
masih ada, pasti eyang akan mengatakan bahwa mas Edi lah daratanku itu. Eyang,
Kama kecilmu sangat beruntung.
Aku sudah tidak sabar ingin pindah dari rumah ini. Aku ingin
merasakan suasana yang baru, ingin hidup normal layaknya rumah tangga yang
lainnya. Hidup di rumah sederhana tanpa limbaban katun perimis dan bau tinta
malam. Yang setiap pagi bisa membetulkan kerah suaminya untuk berangkat kerja.
Memiliki kamar yang lengang dan bertembok putih, memiliki rumah
yang setiap hari bisa kubersihkan, ingin tembok yang bisa kutempelkan foto-foto
keluarga dan meja-meja yang bisa kuhiasi dengan bunga melati putih. Ingin
jendela-jendela yang bisa kugantungi gorden-gorden mewah. Ah, pintaku sederhana
kok, hanya ingin hidup normal seperti keluarga yang lainnya.
Lalu tatapku menemukan batik cokelat tergantung di dalam lemari
kaca, bermotif Nitik Karawitan, batik yang dulu dikenakan mas Edi saat pernikahaan
kami. Katanya batik ini menggambarkan kebijaksanaan, pantas saja sangat cocok
di tubuh mas Edi.
***
Dua truk kain katun dan alat cetak pembuat batik telah tiba. Rumah
kami pun dipadati tumpukan-tumpukan katun perimis, bahan dasar pembuatan batik.
Di ruang cetak tampak beberapa karyawan mas Edi sedang mencetak batik desainan
mas Edi. Mas Edi sendiri sedang berkonsentrasi di ruangan khususnya yang
sempit.
“mas”. Sapaku sambil meletakkan
secangkir kopi. Mas Edi mangabaikanku dan meneruskan goresn cantingnya. Aku
sudah biasa diabaikan mas Edi ketika ia lagi asyik melukis batik. Tapi aku
mengerti, melukis batik bukanlah hal mudah, salah satu gores saja bisa membuat
usaha yang sudah kita mulai berbulan-bulan yang lalu hancur.
Aku memperhatikan batik lukisan mas
Edi yang setengah jadi itu. Berwarna merah hati dengan motif bintang-bintang
dikepung oleh bintang-bintang, sangat indah. Tapi aku gelisah hanya didiamkan
oleh suamiku, terkadang aku juga cemburu dengan batik-batik ini, sepertinya mas
Edi lebih memperhatikannya dari pada aku. Makanya aku selalu minta pindah pada
mas Edi agar di rumah perhatian mas Edi bisa sepenuhnya untukku.
“maas!”. Sapaku lagi lebih memanja.
“hu um”.
“mas sedang melukis apa?”. Tanyaku
mencari perhatiannya.
Dia mengangkat cantingnya dari
permukaan kanvasnya lalu menarik nafas sambil memperhatikan hasil goresannya.
“memangnya kenapa?”. Tanyanya lalu
menggoreskan cantingnya lagi yang terbuat dari tembaga itu.
“sepertinya Kama suka”. Kataku mulai
tersihir oleh lukisan suamiku. “mas membuatnya untuk festival itu?”. Lanjutku.
“emm, ini adalah batik spesial, mas
sendiri tidak tahu apakah nanti akan mas berikan untuk festival itu atau tidak.
Karena tak semua orang bisa mengenakan batik motif ini”. Katanya dengan
sesekali menatapku.
“motifnya apa?”. Aku semakin
penasaran.
“ini adalah Truntum, konon katanya
batik Truntum diciptakan oleh Kanjeng Ratu Kencana, permaisuri Sunan Paku
Buwana. Truntum sendiri berarti cinta yang tumbuh kembali, Kanjeng Ratu Kencana
menciptakannya sebagai simbol cinta yang tulus tanpa syarat dan abadi”.
“oh, pasti Kanjeng Ratu Kencana
sangat cantik ketika mengenakan batiknya”. Kataku lirih, tertegun.
“tentu saja, konon katanya dia
adalah wanita tercantik pada masanya, tapi untuk masa sekarang, kau tetap lebih
manis”.
Duh, gombalan suamiku keluar lagi,
aku jadi meleleh oleh kata-katanya.
“oya, motif apa yang akan mas
berikan untuk festival batik itu?”.
“karena yang hadir lebih didominasi
oleh anak-anak muda, mas lebih banyak membuat batik dengan motif Kawung dan
Udan Liris, agar nilai keinginan, cita-cita, kerja keras serta ketabahan yang
terdapat dalam makna motif itu bisa terpatri dalam diri mereka”.
***
Sudah dua minggu ini, mas Edi tidak
mencubit hidungku. Semakin dekat waktu festival, mas Edi menjadi semakin sibuk.
Pagi, mas Edi sudah tidak tampak di rumah. Siang, mas Edi hanya pulang untuk
mengecek batik-batiknya. Ketika aku mulai mengajaknya bicara, hapenya selalu
saja menganggu. Malam, mas Edi kelelahan dan langsung tidur. Aku seolah hidup
sendirian di rumah batik ini. Ini gara-gara batik! Batik ini telah merebut
suamiku dari pelukanku!
Perlahan kebersamaan dan kemesraan
di antara kami berdua memang merenggang. Tapi sebagai wanita pecinta dan istri
yang baik aku juga harus mengerti dengan pekerjaan dan tanggungjawab yang
diemban oleh suamiku. Lagi pula, dari awal memang aku yang mendukung mas Edi
untuk menerima tender dari bapak walikota itu. Dan aku juga tahu, mas Edi
melakukan semuanya itu demi aku, karena uang dari penghasilan festival itu cukup
untuk mengontrak rumah baru.
Aku tidak seharusnya khawatir berlebihan seperti ini. Kesibukan
ini hanya sementara, setelah festival itu selesai, mas Edi akan kembali ke
pelukanku. Hal ini membuatku membenci festival itu dan ingin festival itu
segera berakhir.
Hingga malam itu akhirnya tiba.
Malam yang sangat dinanti-nantikan oleh pemuda-pemudi Solo. Malam yang di
dalamnya semua orang akan merasa bahagia. Malam yang akan menyihir
pemuda-pemudi Solo terlihat cantik dengan batik buatan suamiku. Malam yang semua
orang yang hadir di alun-alun Solo itu
mengenakan batik. Malam yang hanya ada sekali dan satu tahun. Malam yang
hanya ada di kota Solo. Sebuah malam cinta dan kasih sayang. Malam festival
batik telah dimulai.
Aku dan suamiku mendapat undangan
resmi dari bapak walikota dan akan duduk sejejer dengan orang-orang penting.
Kesempatan seemas ini bagi seorang pembuat batik harus mengenakan batik
terbaiknya. Aku sendiri tidak tahu apa batik terbaik menurut mas Edi. Barang
kali batik tua yang mas Edi petikan di lemari pernikahan kami. Katanya batik
itu adalah Parang Rusak Barong, suatu motif batik yang diciptakan oleh Sultan
Agung Hanyakrakusuma kemudian sering digunakan oleh raja-raja setelahnya. Tapi
aku tidak suka dengan batik itu, seolah menggambarkan keangkuhan dan kerakusan.
“Ma, kamu akan makai batik apa?”.
Tanya suamiku tiba-tiba. Aku hanya bisa memukul kepalaku, karena hingga
sekarang sebagai istri seorang pembuat batik untuk acara sepenting ini aku
belum memikirkan untuk memakai batik apa. Lalu aku teringat dengan Truntum yang
dilukis mas Edi hari itu. Barangkali aku bisa memakainya. Aku pun ingin meminta
izin mas Edi untuk memakai batik itu. Tapi sebelum itu mas Edi sudah lebih dulu
berdiri dengan batik merah manis itu di tangannya.
“kamu adalah orang spesial itu”.
Katanya.
Oh, hampir satu bulan kata-kata seindah itu tidak terucap dari
bibirnya. Sepertinya, malam festival batik ini akan menjadi saksi kembalinya
mas Edi ke pelukanku. Senyumku pun meleleh lagi dan aku mengenakannya.
Kain merah hati yang dipenuhi dengan
bintang-bintang yang mengepung bintang-bintang itu melilit kulit putihku.
Sepertinya mas Edi benar, bahwa di zaman sekarang aku terlihat lebih manis dari
Kanjeng Ratu Kencana. Aku yakin, di festival nanti, si putri Truntum ini akan
menjadi wanita tercantik yang pernah lahir ke dunia. Oh, bahagianya.
Setelah rapi aku langsung bergegas
menghampiri mas Edi yang sudah menungguku. Kupikir, aku memang putri Truntum
yang tercantik itu. Tapi sepertinya ada kejanggalan antara aku dan mas Edi. Mas
Edi sangat gagah dengan batik Parang Rusak Barong-nya, batik kuning dengan
corak senjata dan kekuasaan. Sedangkan aku adalah batik Truntum dengan kasih
sayangnya. Seolah kami berdua sangat asing dan berbeda. Membuatku sedikit aneh
ketika kami jalan bersama dan mas Edi menggenggam tanganku.
Kami pun tiba di alun-alun kota Solo
pukul delapan malam. Sederet tamu penting undangan berdiri menyambut kami. Aku
tidak menyangka perayaannya akan semeriah ini. Hadir juga menteri pariwisata
dan ekonomi kreatif, bapak gubernur, juga wanita cantik mantan putri Indonesia.
Kemudian bapak walikota dan wakilnya datang menyambut kami. Kami menyalami
orang-orang penting itu satu per satu sambil pak walikota mengenalkan kami pada
mereka.
Malam itu berlangsung sangat gempita,
semua orang yang hadir pasti gembira. Pada pertengahan malam kembang api pun
diletupkan, menambah suasana kota Solo menjadi kota yang paling romantis. Ah,
malam cinta, malam batik, malam yang indah.
Tetapi, kenapa bathinku bergejolak tak menentu, seolah sesuatu
yang tak akan kutemukan lagi akan segera lenyap. Kulihat mas Edi yang sedang
asyik berbicara dengan mantan putri Indonesia itu, kenapa hatiku begitu
gelisah, mas? Bisikku dalam hati. Lalu kulihat mantan putri Indonesia itu, apa
karena aku kalah pesona dari dia? Kurasa tidak. Mas Edi, aku ingin dia di
sampingku.
***
Setelah festival batik itu, mas Edi benar-benar menepati janjinya
padaku. Kami mengontrak rumah baru yang cukup besar, berada agak jauh dari
rumah batiknya. Ternyata hasil tender itu tidak hanya cukup untuk mengontrak
sebuah rumah, bahkan mas Edi mampu membeli Toyota Accord baru berkilat, bisa
membeli peralatan-peralatan rumah tangga baru, bahkan mas Edi memberiku seuntai
kalung emas yang sangat mahal. Kami seolah kaya mendadak dan aku seolah Kanjeng
Ratu Kencana abad millennium.
Kini, aku memiliki kamar besar tanpa tumpukan kain-kain batiknya
mas Edi. Kini aku memiliki tembok putih yang bisa kutempeli foto-foto keluarga
sesukaku. Aku menempelkan foto pernikahan kami sebagai foto yang paling besar
di ruangan depan. Kini aku memiliki meja-meja dengan ornamen indah yang bisa
kuhiasi dengan melati putih yang penuh cinta. Kini aku punya istana cinta yang
dari dulu telah kudamba-dambakan. Setiap pagi aku bisa membetulkan kerah rajaku
untuk berangkat kerja, lalu mendapatkan kecupan darinya. Wah, hidup ini memang
indah.
Setelah Festival itu pula, nama mas Edi dan batiknya menjadi
terkenal. Mas Edi pun kebanjiran order dari beberapa daerah luar kota hingga
luar negeri. Hubungan mas Edi pun dengan orang-orang elit tak lagi sebatas
penjual dan pembeli tapi lebih sebagai sorang partner kerja. Tak jarang mas Edi
mendapat undangan-undangan penting berbagai acara. Hidup ini seakan disulap
dalam waktu yang singkat oleh batik.
Sekilas hidup seperti itu memang indah, memang seperti apa yang
kukhayalkan. Tapi kerap kali kenyataan tidak seindah khayalan, karena dunia
mereka berdua berbeda. Dalam khayalan hanya ada kebahagiaan sedangkan dalam
kehidupan nyata kebahagiaan dan penderitaan adalah sepasang kekasih yang tak
terpisahkan.
Lalu semenjak festival itu pula, mas Edi menjadi lebih dingin.
Dengan akitvitas-aktivitas barunya itu mas Edi menjadi sangat sibuk. Aku
menghantarkannya ke depan pintu pagi hari dan membukakan pintu untuknya pada
larut malam. Setelah itu dia langsung tidur, tak banyak bercerita dan bercanda
lagi seperti dulu. Seharian aku sendirian di rumah besar ini. Makan siang
sendirian, dan hidangan makan malam jarang tersentuh karena aku ketiduran
menunggu mas Edi pulang untuk makan malam bersamanya.
Aku merindukan kehangatan-kehangatan yang dulu sering ia berikan.
Aku rindu tangannya yang suka mencubit hidungku. Aku rindu ceritanya tentang
batik. Aku rindu mimpi-mimpinya. Aku rindu kebersamaan kami berdua. Aku jadi
teringat Eyang Muti, apakah benar mas Edi adalah daratan itu, Eyang?
“mas, nanti bisa pulang lebih awal gak?”. Kataku sambil
membetulkan kerah bajunya.
“kenapa?”.
“Kama kangen ingin makan malam sama mas Edi”.
“aduh, mas sibuk, Ma, hari ini banyak orderan jadi mas harus kerja
lembur kalau tidak pelanggan tidak akan percaya lagi dengan rumah batik kita”.
“yah, kalau begitu biar nanti Kama saja yang datang ke sana bawa
makan malam”.
“jangan, jangan, kan jauh, kamu mau naik apa nanti? Lagian mas
belum tahu apa sempat makan atau tidak, nanti takutnya kamu kecewa, ya sudah,
mas berangkat dulu, lain kali kita akan makan di luar saja, bagaimana?”.
“hu um, baiklah”.
Dan mas Edi pun pergi dengan Toyota Accord barunya dan aku
sendirian lagi. Kutatap foto pernikahan kami yang raksasa itu. Lalu kutatap
tembok-tembok yang kuhiasi dengan foto-foto serta jendela-jendela dengan
gorden-gorden, lalu bunga-bunga melati putihku, lalu tembok-tembok putih itu,
dan aku menyadari semacam separuh jiwaku benar-benar telah hilang dan lenyap.
Aku memang mendapatkan apa yang aku inginkan selama ini, tapi aku
kehilangan sesuatu yang tak akan mungkin kutemukan lagi di dunia ini, mas Edi.
Seketika sosok mas Edi terbersit di benakku lalu aku berlari ke ruang depan
berharap menemukan mas Edi sedang melukis batik di ruang kerjanya. Tapi yang
kutemukan hanyalah tembok-tembok putih tak bermakna. Aku langsung tersimpuh dan
meratapi keserakahan jiwa ini yang telah berhasil menipu hidupku.
Aku pun memutuskan untuk menyusul mas Edi ke rumah batik. Aku
kangen menemaninya melukis batik lalu menceritakan kepadaku makna-makna batik
yang ia lukis. Aku juga menyiapkan sedikit makan malam untuk kami berdua. Aku
tidak peduli jika nanti mas Edi tidak punya waktu untuk memakan masakanku yang
penting aku bisa melihatnya melukis batik lagi itu sudah cukup.
Malam itu aku pun sampai di rumah batik. Aku bersyukur mobil mas
Edi masih bertengger di sana. Aku sangat kangen sekali dengan rumah ini. Dengan
senyuman lebar ini aku pun masuk dan menyapa beberapa orang karyawan mas Edi.
Tapi mereka menatapku kosong, tanpa arti. Dan aku tidak peduli perihal mereka.
Namun tidak kusangka, mas Edi memberiku kejutan yang tidak
kuduga-duga, kejutan yang tidak bisa diterima nalarku, kejutan yang menyesakkan
nafasku, kejutan yang memaksa air mataku keluar untuk pertama kali semenjak
pernikahan kami empat tahun silam. Aku menemukan suami yang sangat kucintai itu
sedang berduaan dengan mantan putri Indonesia di ruang kerjanya.
“maasss!!”. Jeritku dan rantang makan malam kami pun jatuh.
Aku langsung berlari sekencang yang aku bisa dan mas Edi
mengejarku. Mas Edi menjerti-jerit memanggil namaku tapi aku mengabaikannya dan
membiarkan kaki ini membawaku berlari ke arah yang ia suka. Saat itu aku tidak
tahu apa-apa, pikiranku mati, jiwaku mati, perasaanku mati, rasaku mati, yang
aku ingat hanya air mataku yang tak berhenti mengalir lalu semuanya berubah
menjadi gelap.
***
Ketika mata ini terbuka, aku melihat tembok-tembok putih dan
ruangan yang sejuk, lalu tetesan air yang tak berhenti menetes mengalir melalui
selang kecil memasuki urat tanganku. Oh, ternyata aku berada di rumah sakit.
Apa yang terjadi?
Ternyata malam itu aku tertabrak mobil dan langsung dilarikan ke
rumah sakit. Keadaanku sempat kritis selama dua hari hingga perlahan membaik
dan sekarang aku sudah diizinkan pulang.
“maafkan mas, Ma, mas tidak bermaksud menyakiti perasaanmu”.
Aku diam dan buang muka.
“tapi kamu harus tahu satu hal, mas sangat mencintaimu, mas tidak
pernah menghianati cinta kita. Malam itu kami hanya ngobrol ringan menunggu pak
Tejo membungkus pesanan mantan putri Indonesia itu, itu saja, seharusnya Kama
percaya sama mas”.
“bagaimana Kama mau percaya, belakangan ini mas berubah dan Kama
selalu sendirian di rumah, Kama sadar, keinginan Kama selama ini untuk punya
rumah mewah adalah keserakahan, Kama merasa kesepian di tengah-tengah
kemegahan, Kama merindukan batik, ingin melihat mas Edi melukis batik lagi,
Kama ingin kita pindah ke rumah batik lagi, mas”. Air mataku mulai bercucuran
lagi.
“baiklah, mas rasa itu lebih baik, dengan begitu mas bisa
mengawasi keadaanmu tanpa meninggalkan pekerjaan mas”.
Semenjak itu aku dan mas Edi kembali ke rumah batik. Kembali bisa
menikmati motif-matif batik setiap hari, yang terpenting aku bisa melihat mas
Edi melukis batik setiap hari.
Malam itu keadaanku sudah sangat baik dan mas Edi mangajakku makan
malam di luar untuk menepati janjinya. Aku kembali mengenakan batik Truntum
itu, ingin mengulangi kembali momen festival batik itu yang rusak karena
kehadiran mantan putri Indonesia itu. Aku pun mengenakan kembali batik Truntum
merah hati itu.
Sepertinya mas Edi juga ingin mengembalikan momen festival batik
yang hilang itu. Ia juga keluar dengan mengenakan batik yang sama saat
festival, Parang Rusak Barong. Tapi aku tetap tidak suka dengan motif batik
itu.
“ayo kita berangkat”. Ajaknya.
Aku diam memperhatikannya dan berpikir. Lalu menarik tangannya
masuk ke dalam kamar. Aku yakin mas Edi pasti bertanya-tanya, tapi aku tidak
peduli. Lalu aku membuka batik Parang Rusak Barong itu dari tubuhnya dan
memakaiannya batik cokelat bercorak hampir sama dengan bintang-bintang yang
dikepung bintang-bintang, batik yang dulu dipakai mas Edi saat kami menikah,
Nitik Karawitan.
“kenapa?”.
“karena cinta yang abadi hanya pantas disandingkan dengan
kebijaksanaan”. Jawabku tersenyum.
Lalu kami pun pergi menyemayamkan cinta pada malam dalam keabadian
dan kebijksanaan.
Selesai.
Royan,
22 Juli 2013
Abu
Dohak.